RSS

youtube: Naiko Chanel

click to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own text

Jelajah Pedang Diri

"Menulis itu bisa menjadi obat"

Itulah yang dulu kurasakan. 
Dulu, aku memang tidak terobsesi dengan yang namanya menulis. Bagiku, menulis untuk diri sendiri kurasa cukup. Tak perlu publikasi. Yang penting aku menuliskan semua yang ada dipikiranku. 

Aku mulai menulis sejak aku berada di bangku SD. Saat itu, aku mempunyai sebuah buku biru  mungil yang selalu siap menemani hari-hariku. Setiap hari kutuliskan setiap kejadian yang aku alami pada waktu itu. Tak ada satu waktupun yang terlewatkan. 

Hari demi hari kulalui dengan sebuah lembaran baru. Hingga tiba pada lembar yang terakhir.

Suatu hari, tiba saatnya aku  masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Seragam Merah Putihku pun mulai kuganti dengan Putih Biru. Di sekolah aku aktif di berbagai kegiatan, hingga akhirnya kumulai melupakan apa yang dulu menjadi sebuah hobiku. Setiap hari aku hanya bermain dengan buku, karena waktu itu aku ingin menjadi bintang kelas. Namun, akhirnya akupun menemukan titik kejenuhan. Aku bosan bergelut setiap hari dengan buku. Kupikir ada sesuatu yang kurang dalam hidupku. Beban seolah menumpuk dalam benakku. Tapi aku bingung, "Apa yang sebenarnya menjadi beban dalam hidupku?". Kupikir, aku hidup biasa-biasa. Hanya saja, aku sekarang hidup bukan dengan keluargaku lagi. 

Sejak awal masuk sekolah yang baru, aku dimasukkan ke sebuah pesantren di daerah tempat tinggalku. Memang tidak terlalu jauh, namun bagiku itu jauh. Tahu nggak? Buku yang selama ini aku geluti, itu bukan buku-buku biasa saja. Tetapi kitab-kitab pun selalu ku geluti dengan seksama waktu itu. Hingga akhirnya aku merasa jenuh dan merasa seperti ada beban dalam hidupku. 

Setiap aku pulang ke rumah, orang tua serta adik dan kakakku selalu tidak ada di rumah. Aku merasa sepi, kupikir tidak ada lagi orang yang menyayangiku. Sifatku yang dulu mulai berubah. Aku mulai menjadi sesosok putri pendiam yang hidup disebuah keluarga yang lumayan hangat. Meski hangat, tapi terkadang aku merasa kurang kasih sayang dari mereka. Mereka hanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Dan hirau dengan keadaanku yang sekarang. 
Hari demi hari kulalui dengan penuh kehampaan. Aku serasa hidup sendiri tanpa keluarga. Namun, untunglah aku juga hidup dilingkungan orang-orang yang sangat luar biasa.
Ibu pesantren selalu saja membuatku termotivasi untuk melakukan hal yang lebih baik dari sebelumnya. Beliau juga berhasil membuatku percaya akan adanya mimpi. Mimpi yang tinggi bagi jiwa yang tinggi. 

Tak terasa, Ujian Nasional tingkat SMP semakin dekat. Belum banyak hal yang kupersiapkan untuk menghadapi ujian tersebut. Sungguh aneh, setiap menghadapi ujian aku selalu mengalami kesetresan yang luar biasa. Aku takut tidak lulus, aku takut nilaiku jelek, aku takut tidak masuk SMA yang aku inginkan. hmm... stres benar-benar stres lah. 

Aku stres mulai dari persiapan menghadapi UN sampai dengan kelulusan. Aku memang lulus, tapi yang jadi anehnya. Aku tidak lulus masuk ke sekolah yang aku inginkan, tapi orang-orang yang berada dibawahku lulus masuk kesana. Wah, benar-benar stres lagi. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan waktu itu. Aku benar-benar lupa dengan "menulis". Padahal dari dulu aku selalu merasa nyaman ketika aku beres menuliskan semua kejadian dalam bukuku. 

Sungguh benar-benar terpuruk hari ini, aku masuk ke sekolah yang mungkin tidak aku inginkan. Tapi aku berusaha untuk bersahabat dengan dunia baruku sekarang. Selama setahun aku sekolah disana, aku hanya mengenal teman-temanku yang dikelas saja, tidak dengan kelas lain. Karena, selama setahun itu, aku hanya diam di kelas dan sesekali pergi keluar untuk ke kantin saja. 

Namun, perubahan yang besar aku rasakan ketika ada seorang teman yang mencalonkan aku menjadi ketua OSIS sebagai perwakilan dari Ikatan Pelajar Masjid Nur At-ta'lim. Aku dipaksa oleh temanku, entah apa yang menjadikannya alasan untuk menjadikanku sebagai kandidat ketua OSIS. Hmm... Tapi rasanya keberanianku mulai tumbuh, akhirnya akupun menyetujuinya. Jengjreng,... Alhamdulillah, ternyata berkat aku masuk OSIS, sifatku berubah sedikit demi sedikit. Aku berani mengemukakan pendapat dikelas dan juga di organisasi. Aku aktif mengikuti kegiatan di sekolah dan di luar sekolah, sampai-sampai aku merasa puas karena aku sekarang sudah mempunyai banyak teman. Baik di dalam sekolah maupun di luar. Dan yang paling mengasikkan, aku juga punya banyak link di luar, guru-guru mulai mengenalku dan bahkan mereka menjadi akrab denganku.

Bahagia sekali aku. Namun, hidup memang tidak selamanya diatas. Karena kehidupan ini bak roda yang berputar, terkadang kita diatas dan terkadang kita juga dibawah. 
Dan mungkin sekaranglah saatnya aku harus berada di bawah. Tepat setelah pembagian rapor, aku tak henti-hentinya menangis. Nilaiku tak seperti biasanya. Peringkatku juga mungkin sangat mengejutkan. Aku turun drastis. Semua ini karena aku tenggelam dalam buaian virus yang sangat keji.  Virus kecil itu cukup membuat sekujur tubuhku melemah. Hingga akhirnya aku tidak bisa melakukan apa-apa. Aku hanya bisa menerima nasib. 

Saat itu, aku merenung sendiri di kelas. Kebetulan tidak ada seorang pun yang sudah datang pada waktu itu. Aku berfikir sendiri. Aku tidak boleh menyerah hanya gara-gara virus yang menyebalkan ini. Aku memang tidak boleh membencinya, tapi ia cukup mengganggu kehidupanku waktu itu. Padahal waktu itu, adalah waktu yang paling menyenangkan bagiku. Namun ia berusaha menggerogoti tubuhku, hingga aku melemah tak berdaya.
Kulihat jendela yang berhiaskan lukisan hasil karyaku yang berhasil menarik hati guruku. Kupandangi ia begitu lekat. Tiba-tiba aku teringat akan masa kecilku. Aku teringat dengan buku biru yang dulu menemaniku setiap hari. 
"Astaga, serasa ada yang menyentuhku hari itu. Tapi apa ya?" Setiap hari aku merasa bahagia meski dalam keadaan duka, tapi apa yang membuatku terus bahagia. 

Aku bingung, akhirnya kuputuskan untuk pulang saja. Aku pergi ke bagian fiket, dan meminta izin untuk pulang dengan alasan sakit (karena memang kepalaku begitu berat waktu itu). Aku pulang ke rumah dan mencari buku itu. Aku bongkar semua yang ada di kamarku, namun sayang. Aku tak berhasil menemukannya di kamar. Saking penasaran, aku ubek-ubek semua isi rumah. Dan ternyata aku menemukannya diatas lemari dekat tumpukan kitab-kitab kesayanganku. 

Hatiku lega, seakan tak ada lagi beban yang menimpaku. Tak ada lagi rasa virus yang selalu menggerogoti tubuhku setiap hari. Tanpa basa-basi, kubuka halaman demi halaman dari buku mungil itu. Terkadang aku tersenyum sendiri membacanya, aku malu dengan diriku waktu itu. 
Ada bagian yang sangat memalukan pada tulisan itu. Tapi meski memalukan, aku dibuat ngakak sendirian dengan tulisan itu. Untung saja tidak ada keluargaku. Kalaulah ada, mungkin aku sudah dibilang gila oleh mereka. 

Selesai membaca, aku terbaring di tempat tidurku. Tiba-tiba tubuhku kembali merasa lemah, mungkin virus itu kembali menyerangku. Sempat aku menyerah pada Tuhan, namun tiba-tiba kepalaku serasa ditusuk oleh benda yang tajam. Sakit tiada terkira. Aku merintih kesakitan sendiri di rumah, tak ada orang yang mendengarkanku waktu itu. Tiba-tiba, dunia serasa gelap. Tubuhku melemah tak berdaya. Namun, sesosok perempuan berambut panjang tiba-tiba datang menghampiriku. Wajahnya tertutup oleh rambut panjangnya. Begitu ia sampai di depan mata, ia langsung menjatuhkan tangannya dengan kuat tepat dipipiku. Ia menangis merintih padaku, namun ia tak bicara satu katapun. Saat ku angkat wajahnya, sontak aku sangat kaget.
Wajah itu, wajah itu????
Wajah itu adalah wajahku?
Hah, tak mungkin aku melihat sosok diriku sendiri menamparku dengan begitu keras. Aku bingung, amat teramat bingung.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Apakah sebenarnya hati kecilku marah karena aku terlalu banyak mengeluh pada Tuhan?

Jret, serasa ada listrik yang menyetrumku. Aku terbangun dengan wajah ketakutan. 
Aku duduk sejenak dan mulai berfikir. Aku berfikir mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku. 

Keesokan harinya, aku kembali ke pesantren. Melakukan hal-hal yang biasanya aku lakukan. 
Sejak tamparan diriku, aku tak pernah lagi menyerah dan mengeluh pada Tuhan. Dan sejak aku menemukan beberapa coretan tulisanku pada masa lalu. Akhinya aku kembali menulis untuk sekedar menghilangkan rasa stresku. Setiap hari aku menulis cerita kehidupanku, cerita fiksi atau bahkan curahan hatikupun aku tuliskan dalam buku kecilku.
Aku merasa lega setelah aku menceritakan semuanya pada buku kecil, teman sehari-hariku. Ternyata memang benar, menulis itu merupakan obat bagi diriku. 

Hari demi hari aku lalui dengan begitu cepat, tak terasa sekarang aku sudah berada di Perguruan Tinggi Negeri yang sedari dulu aku inginkan. Sekarang aku tidak hanya bergelut di dunia kemahasiswaan, akan tetapi aku bergelut di organisasi, jurnalis dan lainnya. Kemarin, baru saja tulisan pertamaku terbit di bukukan. Dan insya alloh bulan ini tulisan ku yang ke dua terbit lagi. 
Selain itu, ada juga tulisan-tulisanku yang terbit di berita-media online.
Target selanjutnya, novel di tahun 2013. Tralalalala... So, menulislah. Karena dengan menulis, semua masalah akan hilang!!! :)


Senyum Terakhirku

Pupus sudah harapanku
Kini takkan ada lagi lembar cerita tentangnya
Takkan ada senyum lembut yang menemaninya
Takkan ada jemari asa yang mengadu tentangnya

Hidup memanglah pilihan
Tapi aku tak bisa memilih
Aku hanyalah dipilih
Bukan memilih!

Hati yang bergetar mulai redupkan sinarnya
Kembara cita mulai ledakkan dentumnya
Bersama asa, 
ia kepakkan sayap layunya

Sayang,
Kupandang bumi dari atas sini
Sedetik, aku terbang dengan begitu sempurna
Namun

Sayapku melemah ketika ku tahu senyummu untuknya
Hingga kujatuhkan diriku
Dengan balutan air senja dimata
Aku rapuh

Daku tak berdaya dengan sayap-sayapku ini
Daku hanyalah sehelai kain yang jatuh melayang dari langit
Senyumku ini
Mungkin senyum yang terakhir

Takkan ku berikan senyum ini pada siapapun
Takkan ku berikan senyum ini pada siapapun
Takkan ku berikan senyum ini pada siapapun
Senyum ini, hanya untukmu yang memilih