RSS

youtube: Naiko Chanel

click to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own text

Ketika Ia Menghujat, Aku pun Diam dalam Tangisan

Hello guys!
おはようございます。
Hari ini tiba-tiba aku teringat masa SMA. Sebuah masa yang penuh dengan konflik. J Dimulai dari konflik masuk SMA yang binguuuung banget gara-gara orang tuaku nggak pegang uang sama sekali untuk pendaftaranku ke SMA. Kedua, konflik dengan salah satu guru yang tidak toleransi akan muridnya. Ketiga, konflik batin yang sampai membuat turun rangking. Haha.. Dari rangking tiga turun menjadi rangking ke sepuluh. (ups, jauh banget kan? Jhahha... ) Tapi tahu nggak guys, salah satu hal yang tidak pernah bisa terlupakan di masa tersebut adalah masa dimana aku hampir bertengkar dengan guru.
Ceritanya, dulu setiap siswa ada tugas untuk mengisi buku Ramadhan kan? Nah, kebetulan aku tinggalnya di Pondok. Secara tidak langsung, aku pun menuliskan semua kegiatanku dalam buku itu sesuai dengan kegiatan di pondok kan? He..
Nah, selepas lebaran, kami pun masuk sekolah seperti biasa. Akupun menjalankan aktifitas seperti biasanya. Ketika bel kedua berbunyi, guru agama kelas dua pun masuk. Sebutlah ia Pak Arman. Ia membuka kelas seperti biasa, kemudian menginstruksikan siswanya untuk mengumpulkan buku Ramadhan tersebut. Ketua kelas pun bergegas untuk mengumpulkan bukunya.
Disamping guru itu sedang memeriksa, kami duduk di bangku masing-masing dengan posisi leter U. Karena jumlah murid di kelas kami hanyalah 22 orang. Suasana dikelas ramai. Ada yang mengobrol, membaca buku, bercanda-canda dan lain sebagainya. Sesekali, sang guru pun memanggil nama murid untuk mengambil buku Ramadhan miliknya. Dan kini, tibalah giliranku. Aku maju dengan memajang wajah sopan dan tersenyum pada guru tersebut. kemudian Pak Arman pun bertanya padaku “Sri, kenapa ini kosong?” katanya sembari menunjuk pada halaman-halaman yang kosong.
“Oh, itu karena saya sedang tidak sholat, Pak” jawabku dengan polos.
“Lah, terus kenapa ininya juga kosong?” ia menunjuk pada kolom membaca qur’an.
“Ehm, kan kalau lagi nggak sholat emang nggak boleh baca Qur’an Pak. Soalnya kita sedang dalam keadaan tidak suci kan?”
“Kata siapa?” nadanya agak tinggi dari sebelumnya. Anak-anak pun terdiam. Suasana kelas menjadi hening. Seolah tak ada siapapun, kecuali aku dan Pak Arman.
“Itu memang sudah ada dalam aturannya kan Pak. Seseorang yang sedang Haid tidak boleh membaca qur’an, membawa qur’an, masuk ke masjid, Shalat, Thawaf. Itu kan haram” Jawabku dengan tegas.
“Siapa yang bilang seperti itu?”
“Saya belajar di Pondok Pak. Saya belajar kitab safinah dan kitab-kitab fiqih lainnya”
“Lah kalau begitu? Gantinya apa?”
“Karena saya tinggal di Pondok. Ya, saya jadinya ikut semua kegiatan pondok dari pagi sampai malam. Belajar kitab”
“Di kitab itu tetap saja kan ada tulisan arabnya?” Ia masih ‘keukeuh’ dengan argumen dan pertanyaan-pertanyaannya. Dan aku pun tidak ingin kalah. Hingga akhirnya ia terpaksa memberikan nilai aku C dengan detail nilainya 65.
Percaya tidak? Ini adalah kali keduanya aku mendapatkan nilai 65 di mata pelajaran agama. Sedangkan aku tinggal dan belajar agama di pondok selama SMP dan SMA. Sontak aku tidak terima dengan nilai yang ia berikan. Aku terus protes pada guru tersebut. akan tetapi ia seperti tidak peduli dengan apa yang aku omongkan. Ia hanya peduli pada apa yang ia faham dan orang-orang yang sefaham dengannya. Adu mulut pun kembali terjadi. Hingga aku menangis didepan semua orang yang ada di kelas. Sedang teman-temanku tidak ingin ikut campur dengan alasan, guru tersebut sudah membawa-bawa ayat alqur’an, hingga mereka bingung harus mengatakan apa.
“Maaf, aku tak bisa membantumu di kelas tadi. Masalahnya, ia tak akan mendengarkan apa yang kita omongkan. Ia hanya percaya dengan keyakinannya saja. Dan tidak toleransi pada kepercayaan lain” kata salah satu temanku ketika keluar dari kelas.
“Ya, aku mengerti. Tapi, aku masih tak percaya kalau dia tidak bisa toleransi pada muridnya sendiri” jawabku.
“Sudahlah, biarkan saja. Kejadian ini bukan kamu saja yang mengalaminya. Tapi di kelas lain pun ada”
“Ya. Tapi aku tidak bisa terima dengan omongannya yang mengatakan bahwa aku itu aliran sesat! Sungguh! Baru pertama kali ada orang yang mengatakan aku sesat. Padahal jelas-jelas bahwa Nahdatul Ulama itu diakui di Indonesia” kataku sembari menangis. Teman-teman pun kembali terdiam dan sesekali menenangkanku.
Sejak kejadian itu, aku jarang ngomong di kelas agama sampai akhir kelas tiga. Bahkan guru tersebut pun bertanya padaku tentang kebisuanku di kelas. Namun aku tak menjawab. Kupikir, kalau aku berbicara, maka akan terjadi lagi sengketa perbedaan. Hingga akhirnya, aku pun memutuskan untuk diam seribu bahasa.
Setelah lulus dari sekolah, aku pun menjalin pertemanan dengan orang-orang yang berbeda keyakinan. Sengaja! Ya, kupikir, berteman dengan orang-orang yang berbeda keyakinan membuatku tahu tentang mereka dan keyakinan mereka. Dan ? takkan kubiarkan perbedaan itu menjadi satu pemicu konflik di negeri ini.

Ya! Negeri kita beragam. Tapi aku ingin hidup damai dengan keragaman ini. J

Self Publishing?

Berbicara tentang penerbit? Terkadang aku suka heran. Kenapa ada penerbit yang menerbitkan buku –kalo menurut aku sih buku itu- kurang berkualitas. Pernah ada satu kejadian, aku sedang mengerjakan salah satu tugas mata kuliah kualitatif. Awalnya, aku sangat antusias dengan mata kuliah tersebut. Namun, tiba-tiba aku menemukan buku yang susunan kalimatnya rumit alias tidak mengerti. Eh ada beberapa sumber yang menggunakan blogspot. Heu, disini, aku tidak bermaksud untuk menjelekkan sesuatu ya. Tapi ini memang benar-benar fakta yang tidak bisa disembunyikan lagi. Kupikir, “Apakah ini memang pilihan dari penerbit itu sendiri atau ini adalah paksaan dari penulis yang ingin tetap menerbitkan bukunya?” Heu.. hari demi hari, aku terus bertanya akan hal tersebut. Hingga suatu hari aku melihat ada Self Publishing di media online salah satu penerbit.
Iseng-iseng, aku masuk dengan menggunakan akun baru di media tersebut. Ternyata, dengan self publishing  itu kita bisa menerbitkan buku karya kita tanpa melewati seleksi. Hanya saja, mungkin penerbit tidak bertanggung jawab dengan isinya.
Pikirku, kalau misalnya self publishing itu terus berlanjut, maka semakin hari, dunia penerbitan akan memiliki reputasi yang jelek. Karena tentu saja, pembaca awam akan menilai siapa juga penerbitnya. Dan ketika ia mendapati tulisan itu jelek, maka secara tidak langsung ketika ia menemukan tulisan yang di publish secara mandiri lagi, ia akan menilai bahwa semua buku yang diterbitkan oleh penerbit A (misalnya) itu memang buruk. Sehingga ia tidak lagi mempercayai buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit tersebut.
Dan? Lagi-lagi nih ya! Aku selalu kepikiran tentang persaingan antara buku cetak dengan elektronik loh! Hihi

So, dunia penerbitan harus mampu menarik minat pembaca untuk membaca buku yang mereka terbitkan. Entah itu dengan mengadakan program-program yang kreatif. Misalnya dengan mengadakan pengenalan dunia penerbitan kepada anak SMA (Wisata sastra), mengadakan pelatihan menulis dengan menghadirkan penulis profesional dan lain sebagainya. Hmm... Nanti kita bahas lanjut tentang “Kenapa bisa dikatakan bersaing?” lah ya? He.. Sekarang, aku harus bersiap untuk berangkat ke acara wisuda kakak kelasku yang sudah aku anggap sebagai kakak sendiri.. Well... see u later... J

Kurang Inovatif? Musnahlah Sudah

Hallo guys! Ohayou! 
Hmm.. Hari ke-2 ngampus nih. Tapi sebelumnya aku ingin bercerita. 

Seperti yang kita ketahui, hari ini bukanlah hari-hari yang dulu. Maksudnya? Ya! Semakin hari zaman terus berkembang. Bahkan hari ini -ada yang menyebut sebagai- era digital. Dimana apapun yang kita inginkan bisa dicapai dengan sekali mengklik. Lantas? Apakah buku-buku sekarang sudah tidak terpakai lagi? 
Sebenarnya, bisa dikatakan demikian, bisa juga tidak. Pasalnya, masih banyak orang yang menggunakan buku cetak sebagai bahan bacaan. Meski tidak menutup kemungkinan manusia-manusia zaman sekarang menginginkan yang lebih instan saja. 

Dengan adanya kemajuan teknologi, -menurut analisa saya- tak sedikit orang yang menjadi malas untuk melakukan sesuatu yang lebih sulit (karena sudah terbiasa instan). Contohnya saja nih, terkadang aku lebih tergoda untuk mengerjakan tugas dengan bantuan google dibandingkan dengan membaca buku. Kenapa? Biasanya, pertama yang aku lihat dari buku adalah cover => sinopsis => gaya bahasa. Ketika cover tidak menarik, maka biasanya kurang aku lirik. Kecuali judulnya sama seperti yang aku inginkan. Kedua sinopsis. Kalau sinopsisnya bagus, ya lanjutkan membaca. Ketiga, gaya bahasa. Kalau bukunya ditulis dengan gaya bahasa yang 'pabaliut' alias bikin pusing dan gak mengalir. Aku ogah-ogahan untuk membacanya. Sehingga, aku lebih memutuskan untuk membaca di internet saja. Selain mudah, karena bisa dari hp. Juga bisa dapat dengan jurnal internasionalnya. So, kupikir, kalaulah dunia penerbitan menerbitkan buku dengan kualitas yang jelek, maka tidak akan ada orang yang membacanya. Terlebih sekarang, dengan adanya kemajuan teknologi, maka dunia penerbitan, kalau tidak berinovasi dalam penerbitannya, maka ia akan menghilang. 

And then? Bagaimana dengan adanya konsep pameran?
I think, It is same.

Jujur saja ya, haha... Dulu, -saat masih cabe-cabean, haha- kalau ada pameran buku, aku adalah orang yang paling semangat untuk pergi ke pameran tersebut. Pasalnya, aku bisa melihat segudang buku dengan berbagai inspirasi yang berbeda. Aku sering mencari inspirasi dari buku-buku tersebut. Akan tetapi, sekarang ketika pameran itu diadakan dengan konsep yang sama, aku malah malas tak karuan. Maaf ya! Bukannya gimana, tapi aku adalah orang yang mudah bosan dengan segala sesuatu. Contohnya, dulu aku sering mengikuti training motivasi. Tapi karena kupikir, konsepnya sama, maka aku tidak pernah mengikutinya lagi. Nah, ketika aku melihat pameran pun demikian. (Tapi maaf ya guys, ini hanya ceritaku saja. Siapa tahu diantara kalian juga ada yang memiliki sifat yang sama. So, bisa mewakili kan). 

Lantas? Apa yang harus dilakukan?
Dengan adanya IKAPI, seharusnya para penerbit mampu memberikan inovasi dalam menerbitkan buku setiap tahunnya. Sehingga menarik masyarakat untuk lebih mengoleksi buku dibandingkan dengan jurnal ber-format PDF. Karena, seperti yang kita tahu, masyarakat masa kini lebih menginginkan hal-hal yang instan. So, kita harus menarik minatnya dengan berbagai hal yang lebih inovatif. Karena dengan demikian, barulah dikatakan bahwa pameran/IKAPI/Penerbit turut berperan aktif dalam mencerdaskan masyarakat. Namun, kalaulah kejadiannya seperti apa yang aku alami, maka ketiga elemen tersebut, justru mampu berperan aktif mencerdaskan masyarakat untuk memilih hal yang lebih instan ya nggak sobat?

Tapi, ini ceritaku. Mana ceritamu???? :)

#LombaBlog#PameranBukuBdg2014

Welcome Semester 7

Selamat pagi semua... Hmm.. Sambil mencari inspirasi untuk parade blog IKAPI JABAR, aku sedikit merefresh otak dengan menuliskan beberapa hal yang ingin  kuceritakan. 

Yap! Serasa baru kemarin aku masuk ke kampus HI UNPAD dengan perjuangan yang -menurutku- berat. Kini, tiba saatnya penentuan. Pasalnya, aku sekarang bukan lagi mahasiswa baru, melainkan mahasiswa lama atau mahasiswa akhir tahun. Di tahun ini, aku seakan berdiri di persimpangan. Ntah jalan mana yang sebenarnya ingin kuambil. Tapi yakinlah akan satu harapan tentang menuai hasil keringat selama ini. 
Setelah kemarin mengikuti program student exchange, sebenarnya semester ini aku juga berharap mengikuti kembali student exchange. Namun, bukan lagi ke Malaysia. Akan tetapi aku ingin menginjakkan kaki di negeri sakura, dan bergelut dengan berbagai tantangan untuk menggapai impianku disana. Tapi disisi lain, aku juga harus menyelesaikan pendidikanku selama 4 tahun. Pasalnya, aku adalah mahasiswa bidikmisi. Dan setiap mahasiswa hanya diberikan kesempatan untuk lulus 4 tahun dalam pembiayaannya. Lebih dari itu, mereka harus membiayai diri sendiri. 

Hmm... Terpaksa, dengan berbagai pertimbangan, aku pun sudah menentukan gerak langkah yang akan kucapai di masa depan. Pertama, kalau aku berhasil menjalankan bisnis kecil-kecilan ini, maka aku akan menjadi seorang pengusaha sukses. Kedua, kalau tidak, maka aku ingin mendaftar ke KBRI Jepang. Siapa tahu bisa diterima dan bisa melanjutkan sekolah ke Jepang. Ketiga, aku bermaksud daftar ke Asia PAcific University untuk melanjutkan study ku. Yaaaa.... Karena aku ingin sekali menimba ilmu disana, apapun akan aku lakukan. 
So, semangat untuk menggapai cita. Dan jadilah Planner yang handal!!

Ahmad Wahib Award 2014

Hello guys! 
Ada yang tahu Ahmad Wahib? 
Nih dia kalimat yang aku suka darinya (dikutip dari blog ahmad wahib award)
Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut Muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia. (Catatan Harian Ahmad Wahib 9 Oktober 1969)
 Kali ini, Ahmad Wahib kembali mengadakan sayembara. Diantaranya Esai, Blog serta Video yang bertemakan tentang inspirasi untuk toleransi. 

Berikut infonya: 


Ahmad Wahib Award adalah kompetisi Esai, Blog, dan Video untuk mengekspresikan gagasan dan pengalaman anak muda seputar persoalan kemajemukan di Indonesia dengan mengambil inspirasi dari Ahmad Wahib.
Kompetisi ini terbuka untuk umum, batas usia 16-25 tahun. Batas akhir pendaftaran dan pengiriman karya (Esai, Blog, dan Video) pada 30 Agustus 2014.
Dewan Juri Ahmad Wahib Award adalah: Afra Suci (Co-Founder Pamlet), Ihsan Ali-Fauzi (Direktur PUSAD Paramadina), Ucu Agustin (Sutradara Dokumenter), Wendi Putranto (Chief Editor Rolling Stone ID), Zen RS (Esais).
Total hadiah kompetisi ini sebesar Rp 67.500.000.

Tema Kegiatan:
"Inspirasi untuk Toleransi"

Sub Tema:

  1. Gagasan atau pengalaman menghadapi diskriminasi atau kekerasan. Apakah kamu atau orang di sekelilingmu pernah menjadi sasaran kebencian atau kekerasan karena berbeda pendapat atau keyakinan? Bagaimana kamu mengatasinya? Apa yang akan kamu sarankan kepada pemimpin negeri ini?
  2. Gagasan atau pengalaman merintis dan/atau merawat toleransi dan perdamaian. Di banyak tempat di Indonesia, masyarakat bisa hidup bersama dan mengatasi persoalannya dengan damai. Bagaimana itu bisa terjadi? Apakah kamu berperan di dalamnya? Apa yang akan kamu sarankan kepada pemimpin negeri ini?
    Ketentuan Peserta:
    1. Warga Negara Indonesia usia 16-25 tahun (berdasarkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) / Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) / Kartu Pelajar).
    2. Peserta harus mengisi formulir pendaftaran dengan lengkap dan memberikan informasi yang valid.
    3. Peserta harus bersedia mengikuti wawancara tatap muka jika terpilih jadi finalis (wawancara tatap muka akan dilakukan pada awal November 2014).
    4. Peserta dapat mengikuti ketiga kategori kompetisi, tapi hanya dapat menjadi juara di satu kategori (ketentuan masing-masing kategori berlaku).
    5. Peserta belum pernah memenangi kompetisi Ahmad Wahib Award sebelumnya.
    6. Peserta tidak dipungut biaya.
    7. Konten lomba yang telah didaftarkan dan dikirimkan untuk kompetisi Ahmad Wahib Award dapat digunakan sebagai materi publikasi yang berhubungan dengan kegiatan Ahmad Wahib Award.
    8. Pihak penyelenggara tidak bertanggung jawab atas tuntutan dari pihak ketiga terhadap konten peserta yang diterima pihak penyelenggara.
    9. Panitia Ahmad Wahib Award tidak dapat ikut serta dalam kompetisi ini.
    10. Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat.

    Informasi:
    Twitter: @wahibaward
    Website: ahmadwahib.com



    reblog: 
    http://www.info-lomba.com/2014/08/ahmad-wahib-awards-2014.html

HUT RI di Kampung Halaman Tercinta

(Jatinangor, 18/082014) Semangat pagi semua!
Kemarin merupakan HUT RI ke-69. Kebetulan, sabtu malamnya aku pulang ke rumah. Dengan harapan melihat kegembiraan rakyat di kampung halamanku tersebut. Pasalnya, seperti biasa, kami selalu mengadakan berbagai lomba yang menghibut masyarakat, mengajak mereka menghilangkan berbagai penat kehidupan dan bersenang-senang untuk memeriahkan HUT kemerdekaan negara kami tercinta, yaitu Indonesia. 
Siap dipanjat :)
Dan? Duaaaaarrr!
Ternyata benar! Saat keluar rumah, aku mendengar teriakan banyak orang. Teriakan tersebut bukanlah teriakan meminta tolong, akan tetapi teriakan yang menunjukan kebahagiaan mereka dalam memeriahkan acara tersebut. Setibanya di lokasi, berbagai lomba pun ada. Mulai dari lomba makan kerupuk, balapan karung, main bola dengan berbagai hal yang unik, panjat pinang, karaoke, joget, dan lain sebagainya. 

Disamping itu, kegiatan tersebut juga dimeriahkan dengan kekompakkan dari para kaula mudanya. Mereka memakai pakaian seragam, bertuliskan KUMAT GADOG. Ahaha,,,, agak alay sih. Tapi aku bersyukur, meski demikian mereka setidaknya memiliki keinginan untuk bersatu dengan anak-anak muda lainnya, bersama-sama dalam berbagai kegiatan positiv. 

Ini dia kumpulan anak-anak KUMAT Gadog yang sempat terfoto oleh kameraku. hihi

Kumat Gadog (Kumpulan Umat Gadog)

Kumat Gadog :-D


Okelah, baru segitu,,, 
Nantikan juga supermom and superdad yang tak kalah semangatnya oleh kaum muda. Tunggu yaaa... Video-nya juga sedang dalam editing :D


Dibalik Pembaharuan Blog ini

15 Agustus 2014
Yups, dua hari lagi menuju HUT Kemerdekaan Negeri kita tercinta. 

Hari ini, tak sengaja aku mengotak-ngatik kembali isi laptop ku. Ternyata ada satu projek yang kulupakan dengan berbagai macam alasan, Blogging! Ya! Ternyata blog yang kubuat di tahun pertama kuliah ku kini mulai sedikit terabaikan dengan berbagai alasan. Namun, seolah ada daya yang memperkuat kembali keinginanku. Akhirnya aku membuka kembali blog ini dan mengedit kembali apa yang ada dalam blog ini. 

Kali ini, blog yang sebelumnya aku beri nama "Sebongkah Cerita Menuju Titik Cahaya" kini aku ubah namanya menjadi Your Inspiration. Lah kenapa? 

Pertama, dibalik nama "Sebongkah Cerita Menuju Titik Cahaya" tersebut, aku bermaksud memberikan berbagai cerita yang pernah aku alami. Tepatnya, pahit manisnya kehidupan untuk mencapai sebuah impian. Namun, ternyata tulisan-tulisan yang ku posting tidak terlalu menarik bagi pembacanya (mungkin), sehingga rating yang didapat dari satu tulisan pun tidak pernah tinggi seperti tulisan-tulisanku di blog catatan kampus ku. Ratingnya, dari hati ke hari selalu bertambah. Beda dengan tulisanku dalam blog ini. Maka, dengan demikian, karena kupikir umurku tidak lagi muda. Maka aku ingin menjadi motivator bagi orang lain. Aku ingin berusaha membantu orang lain yang sedang mengalami "down" dalam hidupnya. 

Kalau kalian ingin tahu, ada satu motivator yang selalu menolongku dalam keadaan apapun. Entah bagaimana ceritanya, namun ia selalu menajdi motivator bahkan melebihi orang-orang yang selama ini selalu hadir dan bertatap wajah denganku. 

Siapakah dia?

Dia adalah orang yang hampir lima tahun tidak pernah kutemui lagi. Bukan meninggal. Hanya berbeda tempat tinggal. Sekitar tahun 2009, aku mendengar bahwa ia akan bertolak ke Kairo untuk mewujudkan impiannya. Dan komunikasi kami berakhir pada tahun 2011, tepat setelah hari ulang tahunnya, 25 Maret.Saat itu aku mengirimkan tulisan pertamaku yang diterbitkan, sebagai kado ulang tahunnya. Namun, siapa sangka, ia mampu melanjutkan tulisanku dengan gaya bahasa yang begitu indah. Setelah itu, kami tidak pernah melakukan komunikasi kembali. Meski demikian, ia selalu menjadi motivator dalam imajinasiku sampai sekarang. 

Ya, hari ini, di blog ini, aku hanya ingin menyampaikan rasa terima kasihku padanya. 

Terima kasih telah menjadi motivator-ku sejak pertemuan pertama kita di pondok Syifaush-shudur. Dengan jahatnya, engkau memberikan pelajaran hingga aku membencimu. Tapi, kini engkau telah menjadi motivator hidupku, jauh melebihi orang tua dan orang-orang yang berada dalam hidupku. 

Sekali lagi kuucapkan terima kasih telah menjadi motivator dalam imajinasiku.