Sabtu, 6
Jumadil Akhir 1433 H. Berbekal semangat, harapan serta do’a yang kuat,
kulangkahkan kaki ini menuju kampus tercinta. Senang, namun beberapa potret
kehidupan nyata nampak menyayat sang semangat pagi itu. Sungguh menyakitkan, betapa
tidak? Seorang gadis mungil yang seharusnya belajar di sekolah, kini hanya
tinggal di pinggir jalan mencari belas kasihan.
Dengan
pakaian lusuh penuh goresan debu, serta wajah tak bersenyum, ia angkatkan
tangannya demi kepingan uang receh yang mungkin akan jatuh ditangannya. Tak hanya
itu, mataku pun menemukan seorang kakek tua bertopi kumel, memakai batik hijau
serta beralaskan sandal jepit, berdiri di depan gerbang kampus dengan tali
sepatu dan lipatan beberapa koran di tangannya.
Hati ini
geram, tatkala mendapatinya sedang menawar-nawarkan koran dan tali sepatu, namun
tak mendapat respon dari mahasiswa yang lewat di hadapannya. Saat itu juga, hatiku
dipenuhi ribuan tanya. “Kenapa kakek itu memilih berjualan tali sepatu? Padahal
masih banyak pekerjaan lain yang mungkin cocok dan hasilnya lebih besar
daripada menjual tali sepatu”. Ternyata sebuah jawaban bijak muncul dari
mulutnya “Saya hanya ingin berbagi rizki
dengan mahasiswa” ungkap kakek itu sambil membereskan dagangannya.
Berbagi
rizki dengan mahasiswa? Mulianya
engkau kek. Pikirku. Namun, hatiku menjerit ketika mendengar cerita
keluarganya di desa Cinta Manik-Garut. Keluarga yang sangat sederhana, hidup
bergerombol dalam atap yang sudah ia gadaikan untuk makan sehari-hari. Tak ada
yang bisa mereka lakukan selain menunggu sang ayah pulang dari teriknya siang.
Jika sang ayah pulang dengan beras dan uang yang cukup lumayan, barulah mereka
bisa makan dengan enak. Sedangkan jika sang ayah pulang dengan tangan hampa,
mereka hanya makan makanan yang ada di kebun saja[1].
Tapi inilah
pahlawan hidup mereka. Sang ayah,
penjual tali sepatu dan koran ini rela berpuasa demi keluarganya tercinta.
Bahkan kalaulah penghasilannya belum cukup untuk membeli beras, ia akan
berpuasa dan berbuka dengan beberapa tetes air putih saja. Setiap hari, Pak
Toha[2]
berangkat pagi-pagi sekali. Ia pergi ke tempat pengambilan koran dan tali
sepatu. Kemudian ia antarkan satu persatu koran itu ke semua fakultas yang ada
di Universitas Padjadjaran. Sambil berjalan, terkadang iapun menawar-nawarkan
beberapa koran dengan harga Rp 3000,- saja.
Suatu hari,
pernah kulihat sosok wajahnya yang penuh beban itu terduduk lesu di depan
gerbang kampus. Tanpa banyak pikir, kuhampiri langsung bapak tua itu. Wajahnya
tak seperti wajah-wajah yang sebelumnya aku lihat. Kini wajahnya nampak begitu
kusut. Akhirnya kuberanikan diri ini untuk menyapanya. “Sedang apa pak? Wah,
dagangannya masih banyak ya pak? Semangat ya!” senyumku mengantarkan sapaan
itu. Namun, tak ada balasan senyum
darinya. Yang ada hanyalah setetes air mata yang sedikit demi sedikit kian membanjiri
wajahnya.
Aku
terheran, tak biasanya bapak ini menunjukkan kesedihannya padaku. Ingin
kutenangkan ia. Tapi aku juga bingung apa yang semestinya aku ucapkan padanya.
Beberapa menit berjalan, tak satupun dari kami yang mengeluarkan suara saat
itu. Untungnya hanya sedikit orang yang berjalan disekitar kami, karena memang
sang surya hendak kembali ke peradabannya. Akhirnya kucoba bertanya padanya,
“Pak, apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku pelan sambil mengusap-ngusap
pundaknya. Tak banyak cerita yang mengalir dari senyumnya. “Kemarin anak bapak
meninggal karena tifus, neng” jawabnya sambil menghapus air matanya.
Mendengarnya,
hati ini bergetar. Bergetar menjalar ke seluruh tubuh dan lemaskan jiwa. Aku
tertunduk dalam lamunan senja. Tak ada kata yang mampu kuucap selain hati yang
bergerutu mendo’akan putri beliau. Tak habis cerita, beliau juga baru saja
ditolak untuk bekerja di beberapa instansi karena faktor usia. Sungguh, ingin
sekali kubunuh mereka yang menolak ketulusan Pak Toha untuk bekerja ini. Rasa sedih ini sontak berubah menjadi rasa
kesal yang begitu mendalam.
Aku tak
habis pikir, kenapa mereka malah menolak beliau. Padahal beliau bekerja keras
demi keluarganya. Masih untung sosok seorang Pak Toha ini berkeinginan untuk bekerja
dibanding dengan mereka yang hanya duduk diam menanti sebuah belas kasihan. Dimana
sebenarnya pemerintah? Yang menjunjung tinggi demokrasinya. Mereka bilang “dari
rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Tapi mana buktinya? Adakah keinginan
pemerintah untuk mengubah kehidupan mereka? Gertakku dalam hati.
Karenanya,
Pak Toha tidak makan demi sang keluarga tercinta. Coba bayangkan, jika ada
pemerintah atau intansi manapun yang memberikan pekerjaan yang layak bagi
mereka khususnya orang seperti pak Toha ini, mungkin tak akan ada lagi yang
namanya kemiskinan. Sungguh kejam dunia ini. Benar-benar tak habis pikir aku
dengan ulah mereka yang menolak Pak Toha. Padahal negara tetangga juga ada yang
memperkerjakan orang tua. Dimana hati mereka?
Sejenak
kuterdiam, tiba-tiba ku ingat wajah ayah di rumah, apakah ia juga berjuang
keras demi anak-anaknya? Terbayang pula wajah ibu yang menatapku dengan
kosong, seakan penuh beban di pundaknya. Setitik air hangat lembut menyapa
pipiku. Sungguh, takkan pernah kubuat kalian kecewa dengan ulahku. Takkan
pernah kubuat kalian menderita karenaku. Hati ini menjerit kencang dan semakin
berontak tatkala barisan pengemis mengisi ruang kosong, jalan menuju kampusku.
Melihat lukisan
hidup seperti ini, berbagai rasa mulai teraduk. Teraduk serempak hingga
akhirnya muncul sebuah pergolakan asa antara masa depan dan masa kini, antara
kakek tua itu dan keluargaku, antara
mimpi dan perjuanganku. Berat memang, hidup ini. Namun, tak perlulah ku dibuat
bingung dengan hal seperti ini. Yang jelas sekarang aku harus mulai
mempersiapkan diriku di masa depan untuk mengubah kehidupan dunia, mengubah
mereka dan lain sebagainya.
Rasanya
ingin kurangkul mereka dengan sekolah,
taman baca, taman kreatif jalanan serta berbagai pekerjaan yang layak lainnya. Selain
itu wajah merekapun membuatku tak sabar untuk menyelesaikan pendidikan dan
langsung terjun merangkul mereka. Kupikir, Tuhan tidak akan merubah suatu kaum-Nya
jika ia tidak merubahnya sendiri. Maka kalaulah bukan aku yang mengubah
kehidupan mereka, siapa lagi? Adakah pemerintah terjun langsung merangkulnya?
Terlalu
pedih hati ini menyaksikan perjuangan hidup kakek penjual tali sepatu itu,
mungkin sebuah perubahan tidaklah harus menunggu lulus kuliah. Sekarangpun
pasti bisa. Tapi, aku tak punya kemampuan lain selain meluapkan bendungan hati
ini dalam sebuah tulisan yang mungkin tak begitu indah namun penuh makna. Ya?
Dengan tulisan. Karena ulama dulu pun menuliskan semua pikirannya dalam sebuah
kitab yang sekarang masih dibaca oleh orang lain.
Tulisan,
tulisan dan tindakan. Itulah yang sekarang aku lakukan. Mulai dari diri
sendiri, aku berusaha belajar sekeras mungkin tentang arti kehidupan yang
sesungguhnya. Belajar untuk merangkul semua, belajar untuk bersabar, bersyukur
dan menggapai cita. Kupikir Tuhan selalu memberikan jalan pada setiap hamba-Nya.
Dimana ada kemauan pasti ada jalan. Sekarang, kan kuubah dunia ini mulai
dari tulisan.