Menjerit
sejadinya, entah pada siapa hari ini aku harus mengadukan semua hal yang telah
aku lakukan kemarin. Ya, kemarin! Baru kemarin malam.
Seakan
tak ada yang melihat, aku berbuat dengan berani. Mencengkram kuat genggaman
yang bukan miliknya.
Hatiku
berontak, meminta semua tuk pergi menjauh. Hanya nista dalam diri yang kurapuh.
Aku
seperti ini, karena hatiku yang begitu rapuh. Aku begini karena hariku yang tak
begitu sempurna. Aku begitu rapuh karena dia yang menjadikanku rapuh serapuh
rapuhnya. Bukan karena ku ingin. Tapi karena hati yang memaksa. Bukan karena ku
rela tapi karena teriak setan belaka.
Tak
pernah sebelumnya aku berbuat nista pada diriku.
Tak
pernah sebelumnya aku berbuat nista pada orang tuaku
Tak
pernah sebelumya aku berbuat apa yang tidak pernah aku lakukan bahkan sampai
melanggar apa yang dilarang olehnya. Tapi kenapa hari ini aku begitu jahat pada
diriku sendiri. kenapa hari ini aku begitu nista pada diri sendiri. apa hanya
karena dia yang menjadikan ku rapuh? Atau hanya dia yang mencoba merapuhkanku.
Belum
kutahu apakah ini jalan terburuk yang bakal aku tempuh untuk pertama kalinya. Belum
ku tahu apakah ia menjadi yang terbaik atau bahwa perusak hidupku semata.
Belum
kutahu apa ia orang yang akan menjadi pelantara kerusakan hidupku. Belum kutahu.
Sungguh belum kutahu.
Aku
hidup seperti tak bernyawa.
Tak
padat seperti biasanya.
Tak
hidup seperti biasanya.
Hidupku
seperti melayang tak karuan. Hidupku seperti berjalan dalam kelamnya haluan. Hidupku
hanya berjalan apa apa yang menjadikanku rusak sekalia.
Entah
jalan mana yang harus kutempuh. Meski kutahu itu jalan yang begitu baik atau
bahkan buruk bagiku. Meski kutahu bahwa itu jalan terburuk bagi hidupku.
Aku
hidup sekali dengan sejuta mimpi yang menggantung. Tapi haruskah kurapuh hanya
dengan alasan yang tak begitu jelas. Dengan alasan yang begitu ringan atau
bahkan tak berbobot sekalian.
Aku
hidup karena aku sendiri.
Aku
hidup bersama nafsuku sendiri.
Aku
hidup bukan bersama diriku yang dulu.
Aku
hidup bersama orang yang menjadi penuntunku sendiri.
Aku
hidup bersama kematianku sendiri.
Tuhan,
haruskah kutaklukan dunia dengan cara yang begitu nista? Hingga engkau
palingkan mega itu menjadi satu cahaya yang begitu nyata. Tak hanya imajinasi
belaka.
Hari
ini, aku merasa hidup dengan apa yang kusebut jalan kelamku.
Hari
ini, hatiku bergelut dengan apa yang selama ini kuhindari bahkan sempat kucaci.
Hari
ini, aku hidup dengan kotoranku sendiri.
Dengan
amarahku sendiri.
Dengan
apa yang kusebut sebagai musuh pribadiku.