by: Swittri Dewi Tambun
Ayah… begitulah kupanggil lelaki terhebat dalam
hidupku. Tak habis kisahku tentang laki-laki ini. Lelaki dengan guratan takdir
sempurna, dengan seribu damai dan tentram yang tertera di kerutan keningnya. Hari-harinya
begitu keras. Hari-hari
betapa seorang Ayah mempertaruhkan segalanya demi anak-anaknya. Ia seorang yang
tangguh, dentuman ombak yang begitu keras dan riuhnya badai tidak mengalahkan
keberaniannya. Ya, dia adalah seorang pelaut. Entah di negeri mana ayah
sekarang berada, tetapi yang kutahu dia selalu ada di hatiku.
Sewaktu
aku masih kecil, ayah mengajariku untuk mencintai
malam, malam yang menjadi ketakukan bagi anak-anak lain. Ketika malam mulai
merapat ayah sering memainkan gitar tuanya dan mengajak ibu untuk bernyanyi,
aku hanya bisa tertawa memandangi tingkah lucu mereka dan menyadari bahwa
betapa beruntungnya aku dilahirkan dalam harmoni keluarga ini. Ketika ayah
pergi ke negeri orang untuk melaut, aku dan ibu masih melakukan hal yang sama.
Kami akan pergi ke halaman rumah, sambil memandangi bintang dan bulan yang
begitu memberikan kedamaian, disaat itu aku berharap ayah juga akan melihat hal
yang sama sehingga rasa rindunya terhadap kami akan terobati.
Kumulai memainkan jemariku pada gitar tua yang ayah
tinggalkan, “ Ayahku tak pernah ada di rumah…… setiap hari katanya mencari
uang….. Aku rindu belaian kasihnya…. Aku perlu bimbingan darinya….”, dengan
suaraku yang merdu aku menyayikan lirik ini. Lalu ibu akan membalasnya, “
Anakku .. jangan kau mengeluh saja, ayahmu kini bertugas diluar kota… Ibu juga
rindu pada ayah.. Tanpa ayah hidup ini hampa …” Ibu yang mengajariku lagu ini. Lalu kami
berdua akan bernyanyi di bagian reff “ Ayah… dengarlah jeritan kami ini, berilah
sedikit waktu untuk anakmu. Oh ayah.. yang tercinta..”. Entah darimana ibu
mengetahuinya, tapi yang kutahu lagu tua ini akan menjadi ramuan yang pas untuk
mengobati rinduku pada ayah, karena pada saat menyayikan lagu ini hati kecilku
berharap agar ayah mendengar jeritan lagu yang kami nyanyikan untuk ayah, agar
ayah yang tercinta memberikan waktu untuk bertemu dengan kami keluarganya.
Aku sangat tahu betapa besar kerinduan ibu kepada
ayah, hal itu tersirat jelas dalam matanya yang berkaca-kaca ketika menyayikan
lagu tersebut. Aku sering memergoki ibu menangis ketika ia sudah merasa tidak
sanggup menghadapi rintangan keluarga kami, ketika ibu sudah lelah menjadi ayah
sekaligus ibu rumah tangga di rumah kami.
Aku juga
sangat tahu kerinduan adikku kepada ayah. Ketika ibu memukulnya ia hanya
berteriak memanggil “ayah…ayah”, bahkan ketika adik tisur ia masih sering
berteriak memanggil yah dan meminta untuk dibelikanmainan oleh ayah. Sementara
aku, aku hanya bisa menangis dalam hati melihatnya sambil mengusap kening
adikku.
Setelah lulus
SMA, ayah sedikit memaksaku untuk menjadi seorang dokter. Aku tahu bahwa
seluruh paksaan yang dilakukan ayah semata – mata hanya karena memikirkan masa
depanku nanti. Tetapi tetap saja ayah tetap tersenyum dan mendukungku saat
pilihanku tidak sesuai dengan keinginan ayah. Setelah aku menjadi gadis dewasa,
aku harus pergi kuliah dikota lain. Dengan sejuta kesenangan ayahku mendapatkan
kesempatan untuk mengantarkanku. Aku mendengar jelas suara hati ayah yang
berkata “Segenap
jiwa dan ragaku siap mengantarkanmu Nak menjemput impian terindahmu.”
Ayah harus
melepas kepergian putri kecilnya di bandara. Aku mengerti mengapa badan ayah
terasa kaku untuk memelukku, yang ayah lakukan hanya tersenyum sambil memberi
nasehat ini – itu, dan menyuruhku untuk berhati-hati. Padahal tersirat jerat di
raut wajahnya bahwa ia ingin sekali menangis seperti Ibu dan memelukku
erat-erat. Tetapi yang ayah lakukan hanya menghapus sedikit air mata di sudut
matanya, dan menepuk pundakku. Aku tahu ayah lakukan itu agar aku kuat, kuat
untuk pergi dan menjadi dewasa di negari antah-berantah untuk menimba ilmu.
Ketika aku tanpa sengaja melihat ayahku sedang
mengusap wajahnya yang mulai berkerut,
dengan badannya yang mulai membungkuk, dan suara batuknya yang khas itu. Aku
mengerti kenapa ayah
tak mudah menangis bukan karena ayah tak punya airmata, tapi karena sebelum
keluar dari mata Ayah, air mata ayah sudah berubah menjadi keringat dan peluh,
yang ayah pertaruhkan setiap hari agar
keringat itu bisa berubah menjadi uang, yang bisa kau gunakan untuk memenuhi
semua kebutuhanku.
Pernah
sesekali aku bertanya kepada ibu, “Ibu kenapa ayah jarang meneleponku ? Kenapa
ayah tidak memanjakanku seperti teman-temanku yang dimanjakan oleh ayahnya ? ”
Ibu menjawabku dengan penuh kehangatan , “Nak, ayah jarang meneloponmu bukan
karena tidak ada rasa rindunya kepadamu. Tahukah kau bahwa ayahlah yang
mengingatkan ibu untuk meneloponmu. Ayah harus terlihat tegas bahkan saat dia
ingin memanjakanmu. Ketika kau marah pada ayah dan masuk ke kamar sambil
membanting pintu. Ayah yang menyuruh ibu untuk datang mengetok pintu dan
membujukmu agar tidak marah. Tahukah kau anakku, bahwa saat itu bahwa saat
itu memejamkan matanya dan menahan
gejolak dalam batinnya, ayah sangat ingin mengikuti keinginanmu, Tapi lagi-lagi
ayah harus menjagamu. Ayah ingin putri kecilnya menjadi anak yang manja dan
pemarah. Anakku ketika teman lelaki mu datang kerumah, ayah memasang wajah yang
paling mengerikan. Itu semua ayah lakukan agar putrinya yang cantik tidak salah
memilih orang. Ayah takut lelaki itu tidak dapat menggantikan posisinya ketika
rambutnya semakin memutih, dan badan serta lengan yang tak lagi kuat untuk
menjagamu dari bahaya. Karena bagi ayah, putrid kecilnya adalah sesuatu yang
sangat – sangat luar biasa berharga.”
Aku
tak dapat membendung air mataku mendengar jawaban itu, maafkan aku ayah.
Maafkan aku jikalau aku membuat ayah sedih. Maafkan aku kalau suatu hari nanti
aku tidak melihat senyuman terindah itu tidak menghiasi wajah damaimu. aku tahu
ayah masih akan tetap menjadi sosok yang harus selalu terlihat kuat. Kini aku
sudah menjadi gadis dewasa ayah, tetapi aku masih ingin menjadi putri kecil
ayah yang lucu. Aku masih ingin berada dalam pangkuanmu. Aku masih ingin
dimarahi oleh ayah ketika aku berbuat nakal.
Aku
ingin menunjukkan kepadamu ayah bahwa aku bisa sekuat ayah. Ketika aku diwisuda
sebagai seorang sarjana. Aku yakin ayah adalah orang pertama yang berdiri dan
memberi tepuk tangan untukmu. Ayah akan tersenyum dengan bangga dan puas
melihat “Putri kecilnya yang tidak manja
berhasil tumbuh dewasa, dan telah menjadi seseorang”. Hanya ini yang bisa aku
persembahkan untuk ayah, nilai terbaik dan gelar sarjana untuk mencari
pekerjaan yang layak. Aku selalu bertekat dalam hatiku ketika kelak aku
bekerja, aku akan menyuruh ayah untuk tidak bekerja lagi di kapal. Tidak pergi
ke negeri orang menghadapi buasnya lautan untuk menghidupi keluarganya. Supaya
ibu tak lagi berkaca-kaca matanya dan adik tidak lagi berteriak “ayah” saat dia
kesakitan dipukul ibu, karena ayah sudah akan ada di rumah kecil kami ketika
aku sudah dapat pekerjaan. Ayah.. Aku ingin berkorban seperti ayah berkorban
untukku. Tetapi apa yang bisa aku lakukan ayah ? aku hanya bisa berdoa, berdoa dan berdoa agar engkau selamat, agar engkau beroleh
hikmat. Di depan tumpukan buku-buku ini aku berjanji untuk berhasil dalam
studiku. Aku akan bersaing dengan orang-orang hebat yang aku temui saat ini di
bangku kuliah.
Ayah… kau tahu betapa aku mencintaimu. aku
selalu membutuhkanmu sekalipun aku sudah bertumbuh dewasa, aku ingin selalu
bersamamu. Aku tidak takut apapun ketika kau ada didekatku, karena kau akan
menuntunku di tempat yang paling gelap sekalipun. Kau tahu ayah, kau ada dan
akan selalu ada dalam mimpiku. Aku mencintaimu ayah, kaulah idolaku. Aku ingin
selalu mempersembahkan yang terbaik untuk ayah. Ayah orang yang paling memahamiku.
Sewaktu kecil, ayah memainkan semua permainan yang aku sukai. Ayah mengajariku
berdoa. Aku selalu mendengar ketika ayah bertelut meminta kepada Tuhan, ada
namaku ayah sebut. Aku akan sangat bangga menceritakan tentang ayah
kepada teman-temanku. Ayah yang paling tangguh dan sabar. Aku
akan menjadi putri terbaikmu ayah karena Ayah telah menjadi ayah
terbaikku. Ayah terbaik sepanjang abad.
Bagaimana dengan ayahmu ?
0 komentar:
Posting Komentar