RSS

youtube: Naiko Chanel

click to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own textclick to generate your own text

Kusambut Kau dengan Rangkaian Kata

Aku tak begitu paham denganmu, bahkan aku sangat tak paham denganmu. Terkadang engkau mampu meyakinkan semua pransangka baikku padamu, namun terkadang engkau juga mampu menggoyahkan prasangka itu.
Setiap hari, aku hanya meminta agar Tuhan menghapuskan memoriku tentangmu. Karena aku sudah tak ingin berprasangka lagi padamu. Aku hanya ingin sekedar meyakinkan hidupku.
Hidup nyaman, tentulah kuinginkan. Oleh karena itu, menjauhlah kau dariku. Menjauhlah, menjauhlah sayang........
Sekian lama aku menaruh sebutir rindu padamu, namun tak pernah kuungkap pada siapapun. 
Aku hanya menyimpan senyum lamamu. Senyum kecil yang ku tak tahu, kau tujukan untuk siapa. 
Jika kau pulang nanti, kan kusuguhkan kau dengan balutan kata yang telah kurangkai sekian lama. 
Tak perlu kau hafal, cukup maknai saja!
Maknai dengan sepenuh hati, tentu kau kan mengerti.

Salam rindu dari bayangmu
:)

Celoteh di Pagi Hari


Seharusnya pagi ini merampungkan tugasku terlebih dahulu. Tapi entah kenapa jemari ini terlalu gatal untuk menuliskan sesuatu. Padahal aku belum tahu apa yang harus aku tuliskan.
Sekedar menyapa pagi mungkin dan mencari cerita burung.


Biasanya setiap pagi aku selalu duduk di depan jendela. Menerawang indahnya pagi yang disambut cerah mentari. Tak jarang aku mendengar celotehan beberapa siswa SMP yang sering bergerombol disekitar tempat tinggalku. Terkadang mereka bercerita riang gembira, namun kali ini ceritanya sedih (baginya). 
Seseorang diballik jendela itu sepertinya sangat murung. Ia bercerita kepada teman-temannya bahwa baru saja 3 celengannya lenyap diambil sang maling yang tak punya malu itu. Saat itu si anak kecil ini, katakanlah Arif. Ia sedang pergi berbelanja dengan sang ibu tercinta ke Jatos alias Jatinangor Town Square. Mereka asik berbelanja disana. Sedang rumahnya sedang diburu oleh sang maling.

Saat berbelanja, tiba-tiba si Arif merasakan sesuatu yang aneh. Rasanya ia mencium ada yang tidak beres di rumahnya. Akhirnya ia meminta untuk pulang kepada orang tuanya. Tapi si ibu tidak mendengarkannya. Ia terus asyik berbelanja. 
"Bu, bu. Ayo pulang! Hati Arif nggak enak, rasanya seperti ada yang tidak beres di rumah" Katanya sambil menarik-narik ibunya untuk pulang.
Si ibu masih tetap tidak menghiraukannya. Akhirnya Arif agak memaksa.
Luluhlah hati si ibu. Mereka mengakhiri belanjanya. Dan kembali pulang ke rumah tercinta. 

Saat tiba di rumah, ternyata dugaan Arif benar. Ia langsung pergi kekamar dan mendapati ketiga celengan tercitanya sudah raib. 
Seketika dia langsung berubah lemas.
"Haaaaaaaaaaahhhh.... Tuh kan bener mah. Celengan Arif semuanya hilang!" Teriaknya.
Si ibu masih tidak menyadari bahwa rumahnya telah dimasuki maling.
"Cari yang bener, kamu lupa nyimpennya kali" Kata ibunya tenang-tenang saja.
Arif berusaha untuk meyakinkan sang ibu tercinta. 
Saat ibunya mencari perhiasannya, ternyata benar. Tak ada satupun perhiasan serta uang yang ia simpen di dalam peti lemarinya.
"Astagfirullohal'adhim, Masya Alloh, Innalillahi......" Ibu Arif berteriak dari kamar.
Segera Arif berlari ke kamar sang ibu. 
"Tuh kan apa kata Arif juga, mamah sih tidak percaya!" 

Setelah memastikan apakah masih ada yang tersisa atau tidak, mereka duduk lesu di ruang tamu. Baru saja mereka menyadari bahwa sesungguhnya maling telah merebut semua harta yang mereka miliki.
Arif menangis, karena 3 celengan itu sudah ia jaga baik-baik dan tidak ia buka-buka untuk lebaran nanti.
Dan kakeknya lah yang menenangkan mereka.
"Sudahlah, jika miliknya. Nanti juga akan balik lagi" Kata sang kakek. Tapi Arif tetap menyesali semuanya.

Mendengar celotehan mereka, aku jadi teringat akan peristiwa penjambretan teman kelasku. 
Hmmm Dunia ini memang kejam.... 
Kali ini aku merindui celoteh-celoteh pagi mereka. 
Sayang, sekarang aku sudah libur. Jadi kuputuskan untuk tinggal di rumah saja.
"Huaaaaa Kangen. Kangen celoteh kalian, kangen canda kalian, kangen ribut kalian juga"
:)

Usaha Tuk Jemput Si Bintang

Kali ini, aku sedikit melangkah untuk menggapai citaku sebagai novelis internasional. Berawal dari hal yang paling kecil. Ya, hal yang paling kecil sebelum menuju ke hal yang paling besar. 
Sejak SMP aku sudah diajarkan untuk menuliskan semua cita-cita hidup yang ingin aku raih. Cita-cita untuk menjadi penulis merupakan cita-cita kedua setelah  Duta Besar. 
Hari ini, aku berusaha mewujudkannya dari hal terkecil.
Aku bergabung dengan komunitas-komunitas menulis dan terjun untuk menjadi seorang reporter lepasan. Namun sayang, dengan segala keterbatasan dan tempat tinggalku. Aku kurang berkontribusi dalam pekerjaan ini. Paling kalau misalnya aku pulang ke rumah, baru aku berjalan sambil mencari sebuah berita untuk dimuatkan disana. Kadang aku hanya mampu menulis satu teks berita dalam 2 minggu. Atau bahkan tidak sama sekali. Karena berita yang harus aku tulis itu merupakan berita tentang Garut. 

Hmm... Nah, sekarang komunitas? Komunitas yang aku ikuti sekarang itu adalah KIMM (Komunitas Ilmiah Mahasiswa Muslim) FISIP UNPAD dan Forum Lingkar Pena. 

Menulis dan menulis.......

Kekuatanku untuk menjadi penulislah yang mungkin mengantarkanku pada semua kegiatanku ini. Tak jarang, kalaulah masalah edit-mengedit tugas pun terkadang dilemparkan ke aku. Hihihi Serem juga sih jadi bahan sasaran lempar tugas, tapi karena itu merupakan salah satu passion ku, ya sudah jalani saja. 

The first short story
Nah, nah... Ini dia. Ironi Strip Dua merupakan buku antologi cerpen yang memuat salah satu cerpenku.
Awalnya aku mau mundur dari proyek ini, karena temanya tentang pernikahan. Sedangkan aku masih singgle dong.. belum pernah nikah. hihihihi
Tapi untunglah aku punya teman-teman penulis di Forum Lingkar Pena, mereka memberikan dorongan untuk tetap maju. 
"Nikmati dan hayati saja nay" kata salah satu temanku itu. 
"Kamu tak perlu menikah dulu untuk bisa menulis tentang pernikahan, cukup nikmati dan hayati. Bayangkan, bahwa kamu sekarang sedang dalam ikatan pernikahan" Sambungnya. 
Hehe, aku tetap bingung awalnya. Bahkan aku tak menemukan inspirasi cerita, padahal waktu sudah H-2 dari deadline. 
Untuk mencari inspirasi, aku terus berjalan menyusuri sepanjang kenangan. Saat kurenungi semuanya, tiba-tiba aku teringat pada sebuah kejadian. Kejadian yang mungkin indah jika kubayang bertolak dengan aslinya. heheh
Yups, H-1 akhirnya aku sudah menemukan jalur cerita yang akan kuceritakan dalam cerpen pertamaku ini. Na-na-na, aku ketik semuanya. Setelah sejam, akhirnya ceritaku berhasil aku rampungkan dengan happy ending. Aku baca lagi, kemudian aku edit. Dan ya! Siap dikirim. hehehe
Judul murni dariku adalah MELEPAS CITA DEMI CINTA ; "Kan kupatuhi semua perintahmu, suamiku"
Tapi mungkin karena kepanjangan akhirnya di ganti sama editornya. hikhikhik 
jadi "Tak Ingin Melepasnya" (yeeee.... heheheh)
Inti ceritanya sih tentang sebuah cita-cita yang dilepaskan demi suami tercintanya. Hmm... Begitulah.. Pokoknya aku menulis dengan  penuh cinta. Bahkan ada salah seorang temanku yang bilang "Ih, nay tulisan kamu kok geli banget" Katanya sambil nyegir-nyengir. 
Kemudian aku tanya "Geli kenapa?"  aku kan heran dengernya, kok bisa gitu tulisan aku dibilang geli. Emangnya ada ulatnya apa?heheh
Eits ternyata jawabannya "Ini tuh so romantis banget. Kaya yang emang bener-bener nikah. Terus kamu kan belum nikah nay, begitupun dengan aku. Jadi aku geli sendiri" Sambil cengengesan. 
Huaaaaaaaa....... Gubrak!!??? Tapi terlanjur diterbitkan, ya sudahlah. Nanti aku akan meminta pendapat teman-temanku dulu sebelum tulisanku diterbitkan. :)

Hah, itu ceritaku yang pertama ya?
Sekarang, ini yang kedua ........
Jengjreng....
Sang Juara? Hehe
Ya, cerpen keduaku terbit di antologi yang berjudul "Sang Juara".
Nah, ini baru tulisan asli. Maksudnya, tulisan seusiaku.hehehe Gak juga sih ya, tapi kan tak perlu membayangkan hal-hal yang duluar kita. Hmm... buku ini tentang motivasi, cerita-cerita seru yang bakal menginspirasi kamu.
Kalau menulis motivasi, itu memang kesukaanku. Jadi tak perlulah aku berjalan-jalan terlebih dahulu untuk mencari inspirasi dulu. heheh
Salah satu tulisanku yang masuk kesini berjudul "Buruh Tergantung Karipuh". Maksudnya, hasil yang akan kita dapat itu tergantung dari kerja keras kita. Kalaulah kita berleha-leha ya, mungkin hasilnya pun cukup kecil. Beda dengan hasil yang kita dapatkan ketika kita berusaha dengan keras.

Nah, itulah salah satu langkahku dalam menjemput cita-citaku ini. 
Hah, sudah dulu ah .....Syosyo....

Jika kalian ingin tahu lebih lanjut cerpenku dalam kedua buku ini, pesen langsung aja ya??heheh

Dan tunggu tulisan-tulisanku selanjutnya!

Saman Vs Sepeda

Oalaaaahhhh,,,,, Saking tak ada inspirasi untuk menulis. Akhirnya aku menuliskan apa yang aku rasakan hari ini. 
Sebenarnya, tak ada rasa yang kurasakan hari ini sih. 
Hari ini berjalan lurus-lurus saja. Tak ada yang spesial. Yang ada malah yumpukan penat tugas yang datang secara tiba-tiba. Ups, sebenarnya sih bukan tiba-tiba. Tapi mungkin karena dosennya lupa (meureun), jadi aja baru dikasih hari kemarin. Tapi tak usah diambil pusinglah ya???? Toh, ini kan sudah menjadi tugas kita. wkwkwkwk

Jya, kegiatan baru. 
Kemarin sebelum UAS, ada salah satu teman yang juga sebagai kakak kelasku ngajak main. hihih 
Tapi main yang tak biasanya. Biasanya kami hanya mojok di kamar kos, kemudian berceloteh kemana-mana, yang akhirnya malah tertiidur. heheh
Tapi kali ini, ia mengajakku untuk bersepeda disekitar kampus. Ya, tapi aku lupa membawa fotonya. heuheuheu
Hmm... Dari pada di kosan sibuk memikirkan UAS kan mending kita refreshing dikit (meski hati selalu bergetar dibuatnya).

Pagi itu, memang pagi yang sangat cerah, wuih mendukunglah untuk berkelana dengan sepeda. Aku bersama teman-teman pergi keliling kampus. Awalnya kami memang sangat menikmatinya, tapi alaaaahhhh jalannya semakin meninggi alias nanjak. Keempat temanku mulai mengeluh, mungkin karena mereka tidak terbiasa bersepeda. Padahal, aku juga baru kali ini lagi menyentuh sepeda. Terakhir aku bersepeda itu pada saat aku masih duduk di SMA kelas 2. Setelah itu, aku tidak pernah menyentuh sepeda lagi (Ups... kecuali sepeda motor. heheh)
Hari yang melelahkan sekaligus menyenangkan, setidaknya dengan ini pikiranku ter-refresh. Dan siap untuk melahap semua materi UAS. (Tingtong)

Esoknya, ternyata UAS mulai memberikan sedikit resah dipikiran. Aku begitu takut dengan ujian kali ini. Jelaslah, nilaiku kemarin tak begitu bagus. Meski terkadang aku tak memikirkan masalah nilai, karena kupikir yang paling penting itu adalah soft skill. Tapi tetap saja, kalaulah nilaiku jelek mungkin aku tak bisa kuliah. (Idiiiiihhhh na'udzubillah deh). Sekarang harapku cuma satu, setelah berbagai usaha kulakukan tinggal pasrah alias tawakal. heuheuheu
(Semoga nilaiku baik-baik saja... -_- Amiiiinnnn)....

Hah, kok jadi serius ngomongin ujian ya? hahaha
Ok, lanjut ke sepeda deh. Jya, setelah ujian berakhir kembali ku goweskan gowesannya... (Apa ya? hehe)...
Ya, aku kembali bermain sepeda. Namun berbeda waktu. Kalau kemarin pagi-pagi, kali ini sore hari cuy.. Panas sih, tapi ya sudahlah. Mencoba untuk sehat. hehehe
Seperti biasa, aku bersepeda keliling kampus (abis tak ada tempat indah lain, kecuali kampus.. wkwkwkwk lebay!)

Nah, nah, nah...
Selain bersepeda, aku juga mempunyai kegiatan lainnya....
Karena dulu aku tidak diperbolehkan untuk ikut belajar tari sunda, akhirnya aku berlari ke tarian aceh. heheh
Tak apa ya?
Awalnya, aku susah untuk menghafal semua gerakan-gerakannya. Tapi setelah beberapa kali latihan, ternyata tarinya cukup mudah juga.
Saman HI UNPAD 2011
Wihihihi... Ini dia, Team saman HI 2011. Kami tampil untuk menyambut kakak kelas alias kakak tingkat di HI pada acara Makrab (Malam Keakraban) 2011. Kami latihan hanya beberapa minggu saja. heheh 
Awalnya sih aku  juga tidak mau, tapi tertarik juga sih. Jadi ya dicoba dulu deh. Eh, ternyata malah kecanduan. 

Hmm.... Sekarang kami sedang mempersiapkan diri untuk event pertama kami (yeeeee). Yaitu dalam acara penyambutan mahasiswa Student Excange dari Ajou University, Korea. Sebenarnya hari ini sudah libur sih, tapi kami menyisihkan waktu liburan kami untuk penyambutan tersebut.
Hai, Gambattene!!!





うち (Home)

Hallo teman-teman, lama tak jumpa.
Kali ini marik kita belajar  tentang rumah.
:)
Kosa kata :

  1. へや = Kamar
  2. だいどころ = Dapur
  3. おふろ = Bak mandi
  4. しょくどう = Ruang makan
  5. げんかん = Teras
  6. いま = Ruang keluarga
  7. そうこ = Gudang
  8. れいぞうこ = Kulkas
  9. エアコン = AC
  10. ガレージ = Garasi
  11. とだな = Lemari
  12. たてまし = papilyun
  13. おうせつま = Ruang tamu
  14. テレビ = TV
  15. ソファ = Sofa
  16. しょうくたか = Meja makan
  17. ベッド = Tempat tidur
  18. ほんだな = Lemari buku
Jya, oboette kudasaine!!!

Kemungkinan yang Tak Mungkin

Malam yang dingin, ,
aku tertatih menghujam makna dalam yang kau ungkap.
Namun, tiada arti kudapat. 
Beberapa hari ku coba tuk genggam asa, genggam cita, genggam nestapa namun tak dapat dirasa. 

Hari ini, malam ini, detik ini juga aku dikunjungi kembali sang dewa malam. Sang dewa impian yang selalu melekat di hati. Sang dewa impian yang selalu kutemui dalam setiap malamku. Dan kini ia datang. Ya, pasti datang. Karena aku melihatnya dari kejauhan. Aku melihat senyumnya menyambut cita dan cinta. Aku menyambut derita senjanya yang ceria. 

Sedikit demi sedikit, wajahnya mulai terlihat jelas. Tapi aneh, rasanya ia bukan dewa yang biasanya mendatangiku. Kali ini siapa yang datang? Aku tak mengetahuinya, wajahnya masih terlihat samar dimata. Namun, beberapa detik kemudian ia tersenyum padaku. 
Hey, siapa orang ini? Rasanya aku mengenalnya, tapi siapa? Tanya hatiku. 
Aku ragu tuk membalas senyum darinya. Aku takut, kalo itu merupakan senyum palsu yang ia tawarkan padaku. 

Dengan begitu lembut, ia menyapaku dan berusaha tuk mendekatiku. 
Aduhai, siapa orang ini? Hatiku terus bertanya dan enggan tuk bertanya padanya. Aku semakin takut dengannya. Takut ini, bukan takut yang biasa. Takut ini adalah sebuah jawaban mesra dari pertanyaannya. 

Saat kuteliti parasnya, tiba-tiba aku mulai mengetahuinya. Tiba-tiba aku mulai mengenalnya. Dan rasanya kali ini aku semakin dekat dengannya. Ya, aku kenal dia! Hatiku bersorak. 
Dia adalah seseorang yang selalu menjadi pujaan yang lain. Ia selalu menghiasi langit. Bahkan setiap malam ia selalu mengisi kehampaan sang dewa milikku. 
Ya, aku tahu dia. 
Dia adalah seorang bintang. Bintang lamunan, yang kini hadir menjadi impian. 
Lamunan? Impian? 

Gila!!! 
Tak pernah aku berpikir kalau ia kan datang menyapa. Tak pernah kupikir, kalau ia kan ciptakan senyum mesra. Dan tak pernah kupikir pula, bahwa ia sesungguhnya permata cita dunia.

Sayang, dunia hanyalah dunia. Tak bisa diubah kecuali dengan tanganNya. 
Lamunan senja melambai mesra. Aku hanya duduk diam tak pernah bisa menggapai tamuku itu. 
Begitupun dengannya, ia hanya mampu tuk sekedar menebar senyum dalam bayangnya. Menyapa mesra dalam sapa. 
Indah, namun tak indah kurasa. 

Bintang, memang tak akan pernah ku gapai. Kecuali jika ia berubah seperti diriku. Ya, kecuali ia berubah menjadi manusia normal.

Maaf, aku tak bisa menjawab sapa mu. Maaf, aku tak bisa membalas senyummu. Maaf, aku tak bisa menyambutmu sebagai tamuku. Maaf, aku tak bisa semuanya. 

Tanpa sadar, aku terjerumus dalam mimpinya. Ia membawaku pergi kedalam cahaya. Namun entah cahaya mana yang ia bawa. Tapi lagi-lagi aku kembali digetarkan dengan hal serupa. Cahaya ini tidak asing lagi bagiku. Cahaya ini cahaya rindu. Cahaya ini adalah cahaya yang setiap hari ku lantunkan. Ya, aku tahu itu.
Tapi mungkinkah Ia telah memberinya cahaya yang sama sepertiku?
Huh, tiba-tiba aku tersadar oleh cahaya itu. 
Saat ku buka kembali mataku, ia telah menghilang. Entah kemana??? Kupikir, mungkin ia telah kembali ke langit. 

Sesaat, kupandangi langit bersih itu.
Diantara bintang-bintang itu, ada satu bintang yang bersinar. Namun, tak tersenyum padaku....
Hmm.......



*Stress_3th Editions*
?dua dunia berbeda mungkin tuk menyatu tak ya?

Sepenggal Episode Hidup



Sabtu, 6 Jumadil Akhir 1433 H.  Berbekal  semangat, harapan serta do’a yang kuat, kulangkahkan kaki ini menuju kampus tercinta. Senang, namun beberapa potret kehidupan nyata nampak menyayat sang semangat pagi itu. Sungguh menyakitkan, betapa tidak? Seorang gadis mungil yang seharusnya belajar di sekolah, kini hanya tinggal di pinggir jalan mencari belas kasihan. 
Dengan pakaian lusuh penuh goresan debu, serta wajah tak bersenyum, ia angkatkan tangannya demi kepingan uang receh yang mungkin akan jatuh ditangannya. Tak hanya itu, mataku pun menemukan seorang kakek tua bertopi kumel, memakai batik hijau serta beralaskan sandal jepit, berdiri di depan gerbang kampus dengan tali sepatu dan lipatan beberapa koran di tangannya.
Hati ini geram, tatkala mendapatinya sedang menawar-nawarkan koran dan tali sepatu, namun tak mendapat respon dari mahasiswa yang lewat di hadapannya. Saat itu juga, hatiku dipenuhi ribuan tanya. “Kenapa kakek itu memilih berjualan tali sepatu? Padahal masih banyak pekerjaan lain yang mungkin cocok dan hasilnya lebih besar daripada menjual tali sepatu”. Ternyata sebuah jawaban bijak muncul dari mulutnya  “Saya hanya ingin berbagi rizki dengan mahasiswa” ungkap kakek itu sambil membereskan dagangannya.
Berbagi rizki dengan mahasiswa? Mulianya engkau kek. Pikirku. Namun, hatiku menjerit ketika mendengar cerita keluarganya di desa Cinta Manik-Garut. Keluarga yang sangat sederhana, hidup bergerombol dalam atap yang sudah ia gadaikan untuk makan sehari-hari. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu sang ayah pulang dari teriknya siang. Jika sang ayah pulang dengan beras dan uang yang cukup lumayan, barulah mereka bisa makan dengan enak. Sedangkan jika sang ayah pulang dengan tangan hampa, mereka hanya makan makanan yang ada di kebun saja[1].
Tapi inilah pahlawan hidup mereka. Sang ayah, penjual tali sepatu dan koran ini rela berpuasa demi keluarganya tercinta. Bahkan kalaulah penghasilannya belum cukup untuk membeli beras, ia akan berpuasa dan berbuka dengan beberapa tetes air putih saja. Setiap hari, Pak Toha[2] berangkat pagi-pagi sekali. Ia pergi ke tempat pengambilan koran dan tali sepatu. Kemudian ia antarkan satu persatu koran itu ke semua fakultas yang ada di Universitas Padjadjaran. Sambil berjalan, terkadang iapun menawar-nawarkan beberapa koran dengan harga Rp 3000,- saja.
Suatu hari, pernah kulihat sosok wajahnya yang penuh beban itu terduduk lesu di depan gerbang kampus. Tanpa banyak pikir, kuhampiri langsung bapak tua itu. Wajahnya tak seperti wajah-wajah yang sebelumnya aku lihat. Kini wajahnya nampak begitu kusut. Akhirnya kuberanikan diri ini untuk menyapanya. “Sedang apa pak? Wah, dagangannya masih banyak ya pak? Semangat ya!” senyumku mengantarkan sapaan itu.  Namun, tak ada balasan senyum darinya. Yang ada hanyalah setetes air mata yang sedikit demi sedikit kian membanjiri wajahnya.
Aku terheran, tak biasanya bapak ini menunjukkan kesedihannya padaku. Ingin kutenangkan ia. Tapi aku juga bingung apa yang semestinya aku ucapkan padanya. Beberapa menit berjalan, tak satupun dari kami yang mengeluarkan suara saat itu. Untungnya hanya sedikit orang yang berjalan disekitar kami, karena memang sang surya hendak kembali ke peradabannya. Akhirnya kucoba bertanya padanya, “Pak, apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku pelan sambil mengusap-ngusap pundaknya. Tak banyak cerita yang mengalir dari senyumnya. “Kemarin anak bapak meninggal karena tifus, neng” jawabnya sambil menghapus air matanya.
Mendengarnya, hati ini bergetar. Bergetar menjalar ke seluruh tubuh dan lemaskan jiwa. Aku tertunduk dalam lamunan senja. Tak ada kata yang mampu kuucap selain hati yang bergerutu mendo’akan putri beliau. Tak habis cerita, beliau juga baru saja ditolak untuk bekerja di beberapa instansi karena faktor usia. Sungguh, ingin sekali kubunuh mereka yang menolak ketulusan Pak Toha untuk bekerja ini.  Rasa sedih ini sontak berubah menjadi rasa kesal yang begitu mendalam.
Aku tak habis pikir, kenapa mereka malah menolak beliau. Padahal beliau bekerja keras demi keluarganya. Masih untung sosok seorang Pak Toha ini berkeinginan untuk bekerja dibanding dengan mereka yang hanya duduk diam menanti sebuah belas kasihan. Dimana sebenarnya pemerintah? Yang menjunjung tinggi demokrasinya. Mereka bilang “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Tapi mana buktinya? Adakah keinginan pemerintah untuk mengubah kehidupan mereka? Gertakku dalam hati.
Karenanya, Pak Toha tidak makan demi sang keluarga tercinta. Coba bayangkan, jika ada pemerintah atau intansi manapun yang memberikan pekerjaan yang layak bagi mereka khususnya orang seperti pak Toha ini, mungkin tak akan ada lagi yang namanya kemiskinan. Sungguh kejam dunia ini. Benar-benar tak habis pikir aku dengan ulah mereka yang menolak Pak Toha. Padahal negara tetangga juga ada yang memperkerjakan orang tua. Dimana hati mereka?
Sejenak kuterdiam, tiba-tiba ku ingat wajah ayah di rumah, apakah ia juga berjuang keras demi anak-anaknya? Terbayang pula wajah ibu yang menatapku dengan kosong, seakan penuh beban di pundaknya. Setitik air hangat lembut menyapa pipiku. Sungguh, takkan pernah kubuat kalian kecewa dengan ulahku. Takkan pernah kubuat kalian menderita karenaku. Hati ini menjerit kencang dan semakin berontak tatkala barisan pengemis mengisi ruang kosong, jalan menuju kampusku.
Melihat lukisan hidup seperti ini, berbagai rasa mulai teraduk. Teraduk serempak hingga akhirnya muncul sebuah pergolakan asa antara masa depan dan masa kini, antara kakek tua itu dan keluargaku,  antara mimpi dan perjuanganku. Berat memang, hidup ini. Namun, tak perlulah ku dibuat bingung dengan hal seperti ini. Yang jelas sekarang aku harus mulai mempersiapkan diriku di masa depan untuk mengubah kehidupan dunia, mengubah mereka dan lain sebagainya.
Rasanya ingin kurangkul mereka dengan  sekolah, taman baca, taman kreatif jalanan serta berbagai pekerjaan yang layak lainnya. Selain itu wajah merekapun membuatku tak sabar untuk menyelesaikan pendidikan dan langsung terjun merangkul mereka. Kupikir, Tuhan tidak akan merubah suatu kaum-Nya jika ia tidak merubahnya sendiri. Maka kalaulah bukan aku yang mengubah kehidupan mereka, siapa lagi? Adakah pemerintah terjun langsung merangkulnya?
Terlalu pedih hati ini menyaksikan perjuangan hidup kakek penjual tali sepatu itu, mungkin sebuah perubahan tidaklah harus menunggu lulus kuliah. Sekarangpun pasti bisa. Tapi, aku tak punya kemampuan lain selain meluapkan bendungan hati ini dalam sebuah tulisan yang mungkin tak begitu indah namun penuh makna. Ya? Dengan tulisan. Karena ulama dulu pun menuliskan semua pikirannya dalam sebuah kitab yang sekarang masih dibaca oleh orang lain.
Tulisan, tulisan dan tindakan. Itulah yang sekarang aku lakukan. Mulai dari diri sendiri, aku berusaha belajar sekeras mungkin tentang arti kehidupan yang sesungguhnya. Belajar untuk merangkul semua, belajar untuk bersabar, bersyukur dan menggapai cita. Kupikir Tuhan selalu memberikan jalan pada setiap hamba-Nya. Dimana ada kemauan pasti ada jalan. Sekarang, kan kuubah dunia ini mulai dari tulisan.




[1] Singkong, ubi, daun singkong, dll.
[2] Nama kakek itu.