Sepotong
rencana mulia mahasiswa Padjadjaran
Sungguh riang pagi ini. Matahari
menyapa dengan penuh semangat. Hamparan sawah yang tersusun rapi dan hijau
memberikan kesejukan yang nyata. Gunung kebiruan yang tertutup kabut cinta,
bergandeng mesra satu sama lain. Serta nyanyian burung, menambah semaraknya
pagi ini.
Kali ini, aku duduk terdiam sendiri di
balkon kamar menatap semuanya. Saat kubukakan pintu itu, semuanya memang terasa
sejuk. Campuran patamorgana begitu menentramkan hati. Namun sayang, entah
kenapa hati ini tak seriang mereka dan tak setentram mereka.
Hati ini begitu panas. Seakan bara
api terus menyala didalam. Meski sejenak kupandang semua santapan pagi itu,
tapi kesejukannya tak membuat hatiku menyejuk. Hatiku malah berkecamuk.
Bercampur antara sedih, gembira, kesal, semangat dan lainnya. Padahal, baru
tadi malam aku berbagi cerita tentang mimpi. Tapi sekarang aku malah ingin
berteriak sekencang mungkin untuk melepas semua penatku ini.
“Aaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrggggggggggggggggggggggggghhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh”
aku tersungkur ke sudut balkon. Tak lama kemudiaan, ada aliran yang begitu
hangat membelai wajahku. Kupukuli tembok dengan tanganku yang penuh emosi.
Hhhhhhaaaaaaa,,,,,
hks...hks...hks.... Kenapa kamu seperti ini? Bodoh sekali kamu Ray! Kamu
harusnya bangkit! Jangan hiraukan perkataan orang! Dia orangnya memang keras, Ray.
Sudah, biarkanlah. Toh dia juga tidak berpengaruh buat kamu. Dengan keegoan dia,
kamu masih tetap hidup kok, Ray! Emangnya, siapa dia? Hingga berani berbicara
seperti itu. Sudah!!!! Jangan jadi anak yang bodoh, kamu! Masa karena hal
seperti ini kamu nangis, kamu stres, kamu bingung. Ingat hidup itu nggak bakal
rame kalau tidak ada tantangan dan rintangan. Sudah! Cengeng, kamu!
“Tapi, aku nggak terima dengan
perkataannya. Aku bukan tipe orang yang ia katakan. Aku RAYZEELA! Aku orang
yang selalu kuat dalam menghadapi apapun. Tak pernah aku dipermalukan seperti
ini. Apalagi dia cowo. Terus, katanya dia pinter. Tapi kenapa harus selalu
bersikap seperti itu ke aku? Sedang ke orang lain tidak? Apa maunya? Hah..
hks...hks...hks...
Dialog batin itu terus beradu. Tak
tahan mendengarnya, aku langsung berdiri tegak menantang matahari. Lenganku
terkepal penuh benci. Bibirku gemetar, seraya berucap “Ingat Ri, Gue bakal
buktiin ke elo kalo gue itu nggak lemah! Gue bukan tipe cewe yang seperti lo
bilang. Persetan lo mau lihat gue kaya gimana. Yang jelas gue janji Ri, gue
bakalan lebih sukses dari pada lo! Camkan itu!!!!”
Setelah itu, aku masuk dan berbaring
di tempat tidur sembari memajamkan mata. Tiba-tiba aku teringat mereka yang
pasti sedang sibuk mencari nafkah buat anak-anaknya. Ya, aku tahu. Mungkin aku
adalah anak pertamanya yang membuat mereka paling repot dibandingkan dengan
kakak dan adikku. Mimpiku yang begitu besar membuat mereka lebih giat untuk
bekerja.
Di rumah, aku selalu melihat wajah
mereka yang begitu lembut. Keringat yang bercucuran tak pernah menghalanginya
sebagai penyejuk hati. Setiap hari, bapak pergi bekerja sekitar jam 06.00 pagi,
kemudian pulang jam 12.00 malam. Awalnya aku tak percaya bahwa dia sering
pulang tengah malam. Namun, ternyata semua itu benar. Semua itu nyata. Aku
menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri.
Esoknya, aku bertanya pada mama.
“Ma, naha si bapa uih teh meni wengi-wengi teuing?”
“Eta teh melaan anak, Ni. Matak
sakola teh sing bener, sing kapetik hasilna!”
Deg, tiba-tiba perkataan itu
menyambar hatiku. Mataku kembali terbuka. Ada rasa sedih yang bergejolak. Sesak
di dada. Aku terperanjat dari tempat tidur mungilku.
***
Hmm... Akhirnya, aku bisa menghirup
udara segar di kampung halamanku lagi. Aku
kembali menatap senyum mereka dengan penuh kebahagiaan. Sesekali, kupandang
wajah mereka satu persatu. Dan dialogpun dimulai.
Ray, kamu tidak boleh mengecewakan
mereka. Mereka menaruh harapan yang besar padamu.
“Iya” aku tersenyum.
Kemudian, aku mengambil buku kecil
yang penuh dengan catatan silamku. Setelah kemarin aku terpuruk di kampus, aku
menuliskan plan baru untuk masa depan serta desaku. Dan hari ini adalah hari
yang tepat untuk merealisasikannya.
Aku membuka helaian kertas demi
kertas dengan penuh semangat dan harapan. Meski aku hanya sendiri, tapi aku
yakin “Aku pasti bisa”.
Oke, target pertama adalah remaja.
Sebelum kampungku berubah kembali menjadi kampung yang sangar, lebih baik aku
turun ke remaja untuk memberikan pencerahan pada mereka. Karena kampungku termasuk
kampung yang masih gelap. Target kedua, aku harus turun ke ibu-ibunya. Aku
harus menyadarkan mereka akan istimewanya pendidikan. Dan aku juga harus
memberikan kesadaran pada mereka bahwa sesungguhnya sekolah itu penting. Sip,
itu aja dulu. Pikirku.
Dipagi yang ceria itu, aku mulai mempersiapkan
energi bumi untuk menjalani semuanya. Mengumpulkan kekuatan langit dan
lembutnya angin untuk menemani. Aku keluar dengan secarik kertas dan satu
pulpen mungil. Aku berjalan menyusuri jalan yang ada. Sesekali kuhirup udara
segar untuk merefleks-kan tubuhku.
Disepanjang jalan, aku melihat
orang-orang yang sibuk dihalaman rumahnya masing-masing. Mereka tersenyum manis
melihatku. “Neng, nuju dibumi? Iraha kadieu?”
tanya bu Nida, ketua RT disana.
Aku tersenyum padanya, “Ehm, kamari
Bu”.
“Muhun, Bu. Kaleresan nuju libur,
janteun liburan di bumi”
Kami berbincang lumayan lama.
Setelah itu, aku kembali meneruskan perjalanan. Baru lima menit aku berjalan,
aku menemukan orang yang berjalan sengkoyongan. Matanya merah, tubuhnya lemah
tak berdaya, orang-orang disekitar enggan membantunya. Sekalipun sekedar
berdiri saja. Mereka takut. Dan teman-temannya hanya menertawakan dia dari
kejauhan.
Aku bingung, kenapa dia seperti itu.
Kemudian aku tanya pada anak lelaki yang tepat berada di depanku. “Hey, kunaon
eta si Amud?”
“Dia mabuk teh”
Astagfirulloh, hatiku semakin
berkecamuk. Aku semakin ngeri melihat pemuda-pemuda yang ada di desaku. Rasanya
ingin kupukul diriku sendiri. Namun aku tak berdaya. Aku hanya berdiri seperti
patung, meratapi kekesalanku. Kenapa aku tidak bergerak dari dulu? Kenapa aku
tidak menuruti apa yang keluargaku inginkan? Kenapa aku bodoh?!!!
Hatiku menjerit, merintih sakit.
Benar-benar sakit.
Ya Alloh, aku tidak bisa membiarkan
desaku ini menjadi desa yang bejat. Aku tidak mau pemuda generasi bangsaku
bermoral bejat. Ya Alloh, bantulah hambaMu ini.
Tak kuat kumelihatnya, akupun
langsung pulang. Dari sana saja, aku bisa menyimpulkan bahwa moral pemuda di
kampung ini mulai digerogoti belatung
hitam. Maka dari itu, aku harus bergerak cepat. Ya, cepat sekali.
Keesokan harinya, tepat di depan
rumahku ada yang sedang mengadakan pesta pernikahan. Seperti biasa, hiburannya
dangdut. Semua masyarakat disana ikut menikmati pesta itu. Semuanya berjalan
dengan lancar. Namun, tiba waktu malam. Ibuku datang dengan nafas seperti telah
dikejar-kejar sesuatu. Badannya gemetar, bibirnya juga gemetar, ia berbicara
dengan nada penuh ketakutan.
“Ni, sms si aa. Suruh dia jangan
pulang. Itu, heuh anak-anak diluar pada
bawa samurai panjang-panjang, kayanya bakal ada perang” katanya sambil
ngos-ngosan dengan logatnya yang khas.
“Hadahh, apa ma? Masa iya sih?” Aku tersentak
mendengar semua itu. Jantungku berdetak semakin kencang, tubuh menjadi panas,
ada rasa tegang dan takut dalam dada.
Ya Alloh, masa iya sih aku harus
menyaksikan konflik di daerahku sendiri? Aku tidak mau terlibat dalam isu
perang nantinya.
Aku memutar pikiran dengan
sekeras-kerasnya. Aku semakin tertekan. Aku semakin ditodong tanggung jawab.
Diluar, suasana masih tegang. Tak ada
orang yang hilir mudik disana. Semuanya sepi. Yang ada hanyalah segerombolan
orang yang membawa samurainya masing-masing. Gelap dan sunyi. Sedang aku hanya
menonton semuanya lewat imajinasiku.
Astagfirulloh, kenapa hatiku semakin
panas? Aku kesal. Kenapa tak ada orang yang bergerak dibidang kepemudaan?
Kenapa tak ada orang yang membimbing? Eits,,,, ingat Ray! Ini semua kesalahanmu
juga. Kenapa kamu tidak ikut terjun langsung mendekati mereka. Kamu kan
mahasiswa. Kamu seharusnya bisa membimbing kampung kamu sendiri.
Aku terdiam, bingung. Seluruh jiwaku
hampa berkabut kesal, marah, dan sebagainya. “Ya, aku sadar. Mungkin ini adalah
kesalahanku. Aku sebagai mahasiswa satu-satunya disana tidak membimbing mereka
kearah yang benar” pikirku.
Di ruang tamu, orang tuaku masih
sibuk dengan pembicaraannya. Nampaknya mereka khawatir dengan kakakku. Biasanya
kakakku selalu diajak-ajak dalam hal seperti ini. Tak jarang ia menolak. Ia
selalu ikut andil untuk membela kampungnya. Tapi untunglah dia tidak ada,
setidaknya kekhawatiran orang tuaku sedikit berkurang.
Beberapa jam kemudian, hari semakin
sepi. Tak ada lagi suara yang menghiasi hari. Akupun tertidur mesra bersama
bintang.
Esoknya, semua baik-baik saja.
Ternyata itu hanyalah isu. Isu yang berasal dari kampung sebelah yang membuat
panik semua warga dan pemudanya. Sehingga mereka turun untuk menjaga kampung
ini. Dan semua wargapun kembali beraktivitas.
Aku ikut bergabung dengan mereka,
mendekati para remajanya, melihat aktivitas mereka dan lain sebagainya. Mereka
juga menyambutku dengan ramah, sehingga tak ada lagi rasa canggung yang kurasa.
Dan akupun berhasil mendekati mereka. Ya Alloh inilah aksiku untuk negara.
Kataku penuh optimis dalam hati.
Sebulan sekali, aku mengadakan
kumpulan silaturahmi antar semua warga sekampungku di madrasah.
Aku bermaksud untuk mengakrabkan mereka. Karena akhir-akhir ini sering terjadi
slek antar mereka.
Untuk pembelajaran khusus ibu-ibunya
dilakukan dua minggu sekali pada saat pengajian. Belajar memahami anak,
memahami suami, memahami pendidikan, menjadi ibu yang kreatif,cerdas dan
inovatif. Itulah yang kami lakukan. Tak jarang aku mendatangkan sosok ibu yang
baik untuk memotivasi mereka.
Kemudian untuk remajanya, kumpul
tiap hari minggu. Disana kami belajar tentang bagaimana caranya berwirausaha,
berfikir kreatif dan lainnya. Ya, meski aku bukan seorang wirausahawan,
setidaknya aku bisa terus memotivasi mereka dengan apa yang kupunya. Belajar
membuat kerajinan dari klay (terigu campur lem kayu), figura berbahan dus bekas,
hiasan dinding dan pemanfaatan barang bekas lainnya.
Setelah berjalan sekitar dua bulan,
rasanya ada sedikit perubahan dari mereka. Para ibu selalu memperhatikan
pertumbuhan anaknya.Mereka juga sekarang lebih tercerahkan dengan pendidikan, hingga
mereka tak pernah lagi melarang anak-anaknya untuk bersekolah. Pemudanya
sedikit membaik dari pada sebelumnya. Aku jadi jarang melihat mereka bergulat
dengan minuman keras itu. Kemudian pemudinya, semakin rajin untuk berinovasi.
Mereka selalu memunculkan ide untuk dikembangkan di wilayahnya. Mereka juga
semakin rajin untuk belajar.
Melihat semua itu, senyum optimisku
semakin bertambah. “Aku semakin yakin bahwa aku bakal bisa membuat mereka untuk
lebih berkembang. Aku yakin, kampungku kelak akan menjadi kampung yang paling
sejahtera.” Pikirku.
Setelah semua program yang aku buat
itu berjalan dengan lancar. Sekarang aku akan menjadikan kampungku menjadi
kampung bahasa. Meski bahasa yang aku
bisa hanya Indonesia, Sunda, Jepang dan Inggris saja. Tapi tidak apalah, bahasa
lainnya menyusul.
Setiap hari, kami belajar 5 kosa
kata bahasa Inggris dan Jepang. Mereka menyetorkan hafalannya pada saat
berkumpul untuk membuat kerajinan. Sembari bercanda tawa, mereka menyetorkannya
satu persatu.
Tapi hari begitu cepat berlari. Akupun
harus kembali merantau untuk menggapai mimpi. Ya, waktu liburku sudah habis. Tiga
bulan sudah aku membangun desaku dari keterpurukan. Susah senang selalu kurasa
sendiri. Tapi beruntunglah, ibuku selalu mendukung semua kegiatanku. Meski
terkadang kakakku selalu menyepelekannya. Ia selalu menganggap bahwa aku akan
menjadi orang yang sombong dan melupakan keluarganya. Padahal tidak. Sampai
kapanpun aku tidak akan melupakan keluargaku. Aku berani menentang pemikiran
orang tuaku, karena aku ingin mengangkat harkat dan derajat mereka. Aku sayang
pada mereka. Aku ingin membuat kalian bahagia. Pikirku.
Tet...te...teeetttt.... Suara laptop-ku
bernyanyi riang. Ternyata ada e-mail yang masuk.
Keren Ray, hebat and salut dengan karyanya.hehe Semakin mengikis kekhawatiran, ternyata Indonesia masih dipenuhi anak muda multitalenta. Lanjutkan!!!!”
Aku
tersentak membaca e-mail tersebut. Ternyata itu e-mail dari temanku yang sedang
mencari ilmu di negeri sang Cleopatra. Namun, aku juga heran.Kenapa dia bilang
seperti itu?
“Wah? Wah? Apa nih
maksudnya?hehe.. Bangga kenapa? ^_^” Jawabku.
“kemarin aku baca semua tulisanmu di
blog. Hebat! Sungguh, aku salut padamu! jujur, disini aku berjuang menantang
teriknya matahari, menahan rasa takut ditengah revolusi, ditambah dengan
melihat keadaan negara yang seperti itu. Aku takut, benar-benar takut. Aku
takut negaraku menjadi negara boneka yang nyata. Tapi aksimu, karyamu serta
pemikiran cerdasmu itu membuat kekhawatiranku sedikit berkurang. Terima kasih. J”
aku tersenyum dengan
semua perkataannya.
“J Itu hanya sebagian cintaku pada
negara. aku tidak ingin masyarakat Indonesia itu membenci negaranya sendiri
dengan setumpuk informasi yang belum tentu buktinya. Maka dari itu, aku ingin
mencerdaskan bangsa secara menyeluruh mulai dari kampungku.
Hmm...
Tapi sayang, besok aku harus kembali pergi merantau untuk meraih mimpiku. Masa
liburku telah habis. Tapi tidak apalah, aku akan berusaha pulang maksimal
sebulan sekali untuk terus mengontrol kampungku. J
Lalu,
bagaimana dengan kamu? Apa aksi nyatamu buat negara?”
Send. Hmm...
aku jadi lebih bersemangat untuk membangun negeriku. Pikirku.
Tet,,tet...
Laptopku kembali berbunyi. Dan klik :
“oalaaahhh...
tenanglah! Kamu masih bisa bolak-balik, Ray! Lah, aku?? Aku harus punya uang
20juta untuk pulang-pergi.hehe... Jadi menetaplah disini.hihihi...
Rencana??
Apa ya?hehe
Aku
disini belajar dengan sungguh-sungguh,Ray! Sekaligus mempromosikan negaraku
sendiri. Akupun tergabung kedalam grup nasyid, dan
baru kemarin aku show di Jerman. Dan, ya.. Sebenarnya masih banyak sih.
Nantilah aku ceritakan kalau aku sudah pulang ke Indonesia”
Aku tersenyum.
Sebenarnya aku juga tahu kegiatan sehari-harinya. Karena aku selalu membaca
tulisan-tulisannya di blog. Namun aku diam. Tak ingin kembali memunculkan
harapan sepi. Ya, harapan yang tak berbalas.
Hmm... Hari
semakin malam, sedang aku masih asyik bertukar pikiran dengan sahabatku
tersebut. Mimpi dan cita-cita kami yang hampir sama menjadikan kami lebih
akrab. Awalnya, kami selalu ribut. Namun seiring berjalannya waktu,
kedewasaanpun membawa kami untuk sama-sama berpikir cerdas.
Dan haripun
cepat berganti. Aku harus pamit pada semua orang. Semua orang melepas
kepergianku dengan do’a dan harapan yang mereka perlihatkan melalui sorot
matanya. Aku begitu terharu melihat semuanya. Belum pernah sebelumnya aku
diantar semua orang.
Oh, Tuhann...
Betapa bahagianya hari ini. Dulu, aku pergi hanya diantar mama saja. sekarang
orang-orang di sekitar rumahkupun ikut mengantarku sampai mobil.
“Hmm... Jaga
diri baik-baik ya Ray! Jaga kesehatanmu juga!” Kata Bu Nida.
“Iya bu. Kalem,
saya punya jadwal sendiri. Jadi semuanya sudah terjadwal. Hehe.. Oh ya bu,
paling saya pulang bulan depan. Tolong koordinir semuanya, ya Bu? Saya percaya
pada Ibu. Semua perkembangan update ke blog. Nanti biar saya memonitor dari
blog.”
“Sip, Neng!” Kata
Bu Nida.
Setelah lama
berbincang, akupun pamit pada semuanya. Termasuk pada orang tuaku yang selalu
mendukung semua kegiatanku. Dan, mobil yang kutumpangipun mulai berjalan. Kini,
aku kembali ke kehidupan yang mengguncang.
***
“Arrrrggghhh!
Tugasku kembali menumpuk. Oh Tuhaaaannnn.... Tapi tak apalah, karena mimpiku
tinggi jadi rintangannya pun tinggi. Ahahahah ” Aku mencoba memaksakan diri
untuk tetap tertawa. Kesibukanku setiap hari makin menumpuk. Ditambah harus
bulak-balik ke kampung demi mengontrol perkembangan mereka. Namun, semua itu
kulalui dengan penuh semangat. Hidup ini adalah perjuangan. Sekuat apapun
badainya, tetaplah bersemangat!hihihi...