Hello guys!
おはようございます。
Hari ini tiba-tiba aku teringat masa SMA.
Sebuah masa yang penuh dengan konflik. J Dimulai dari konflik masuk SMA yang binguuuung banget
gara-gara orang tuaku nggak pegang uang sama sekali untuk pendaftaranku ke SMA.
Kedua, konflik dengan salah satu guru yang tidak toleransi akan muridnya. Ketiga,
konflik batin yang sampai membuat turun rangking. Haha.. Dari rangking tiga
turun menjadi rangking ke sepuluh. (ups, jauh banget kan? Jhahha... ) Tapi tahu nggak guys, salah satu
hal yang tidak pernah bisa terlupakan di masa tersebut adalah masa dimana aku
hampir bertengkar dengan guru.
Ceritanya, dulu setiap siswa ada tugas
untuk mengisi buku Ramadhan kan? Nah, kebetulan aku tinggalnya di Pondok.
Secara tidak langsung, aku pun menuliskan semua kegiatanku dalam buku itu
sesuai dengan kegiatan di pondok kan? He..
Nah, selepas lebaran, kami pun masuk
sekolah seperti biasa. Akupun menjalankan aktifitas seperti biasanya. Ketika bel
kedua berbunyi, guru agama kelas dua pun masuk. Sebutlah ia Pak Arman. Ia
membuka kelas seperti biasa, kemudian menginstruksikan siswanya untuk mengumpulkan
buku Ramadhan tersebut. Ketua kelas pun bergegas untuk mengumpulkan bukunya.
Disamping guru itu sedang memeriksa, kami
duduk di bangku masing-masing dengan posisi leter U. Karena jumlah murid di
kelas kami hanyalah 22 orang. Suasana dikelas ramai. Ada yang mengobrol,
membaca buku, bercanda-canda dan lain sebagainya. Sesekali, sang guru pun
memanggil nama murid untuk mengambil buku Ramadhan miliknya. Dan kini, tibalah
giliranku. Aku maju dengan memajang wajah sopan dan tersenyum pada guru
tersebut. kemudian Pak Arman pun bertanya padaku “Sri, kenapa ini kosong?”
katanya sembari menunjuk pada halaman-halaman yang kosong.
“Oh, itu karena saya sedang tidak sholat,
Pak” jawabku dengan polos.
“Lah, terus kenapa ininya juga kosong?” ia
menunjuk pada kolom membaca qur’an.
“Ehm, kan kalau lagi nggak sholat emang
nggak boleh baca Qur’an Pak. Soalnya kita sedang dalam keadaan tidak suci kan?”
“Kata siapa?” nadanya agak tinggi dari
sebelumnya. Anak-anak pun terdiam. Suasana kelas menjadi hening. Seolah tak ada
siapapun, kecuali aku dan Pak Arman.
“Itu memang sudah ada dalam aturannya kan
Pak. Seseorang yang sedang Haid tidak boleh membaca qur’an, membawa qur’an,
masuk ke masjid, Shalat, Thawaf. Itu kan haram” Jawabku dengan tegas.
“Siapa yang bilang seperti itu?”
“Saya belajar di Pondok Pak. Saya belajar
kitab safinah dan kitab-kitab fiqih lainnya”
“Lah kalau begitu? Gantinya apa?”
“Karena saya tinggal di Pondok. Ya, saya
jadinya ikut semua kegiatan pondok dari pagi sampai malam. Belajar kitab”
“Di kitab itu tetap saja kan ada tulisan
arabnya?” Ia masih ‘keukeuh’ dengan argumen dan pertanyaan-pertanyaannya. Dan aku
pun tidak ingin kalah. Hingga akhirnya ia terpaksa memberikan nilai aku C
dengan detail nilainya 65.
Percaya tidak? Ini adalah kali keduanya aku
mendapatkan nilai 65 di mata pelajaran agama. Sedangkan aku tinggal dan belajar
agama di pondok selama SMP dan SMA. Sontak aku tidak terima dengan nilai yang
ia berikan. Aku terus protes pada guru tersebut. akan tetapi ia seperti tidak
peduli dengan apa yang aku omongkan. Ia hanya peduli pada apa yang ia faham dan
orang-orang yang sefaham dengannya. Adu mulut pun kembali terjadi. Hingga aku
menangis didepan semua orang yang ada di kelas. Sedang teman-temanku tidak
ingin ikut campur dengan alasan, guru tersebut sudah membawa-bawa ayat alqur’an,
hingga mereka bingung harus mengatakan apa.
“Maaf, aku tak bisa membantumu di kelas
tadi. Masalahnya, ia tak akan mendengarkan apa yang kita omongkan. Ia hanya
percaya dengan keyakinannya saja. Dan tidak toleransi pada kepercayaan lain”
kata salah satu temanku ketika keluar dari kelas.
“Ya, aku mengerti. Tapi, aku masih tak
percaya kalau dia tidak bisa toleransi pada muridnya sendiri” jawabku.
“Sudahlah, biarkan saja. Kejadian ini bukan
kamu saja yang mengalaminya. Tapi di kelas lain pun ada”
“Ya. Tapi aku tidak bisa terima dengan
omongannya yang mengatakan bahwa aku itu aliran sesat! Sungguh! Baru pertama kali
ada orang yang mengatakan aku sesat. Padahal jelas-jelas bahwa Nahdatul Ulama
itu diakui di Indonesia” kataku sembari menangis. Teman-teman pun kembali
terdiam dan sesekali menenangkanku.
Sejak kejadian itu, aku jarang ngomong di
kelas agama sampai akhir kelas tiga. Bahkan guru tersebut pun bertanya padaku
tentang kebisuanku di kelas. Namun aku tak menjawab. Kupikir, kalau aku
berbicara, maka akan terjadi lagi sengketa perbedaan. Hingga akhirnya, aku pun
memutuskan untuk diam seribu bahasa.
Setelah lulus dari sekolah, aku pun
menjalin pertemanan dengan orang-orang yang berbeda keyakinan. Sengaja! Ya,
kupikir, berteman dengan orang-orang yang berbeda keyakinan membuatku tahu tentang
mereka dan keyakinan mereka. Dan ? takkan kubiarkan perbedaan itu menjadi satu
pemicu konflik di negeri ini.
Ya! Negeri kita beragam. Tapi aku ingin
hidup damai dengan keragaman ini. J